Oleh: Zubairi | Pegiat Sosial Kalbar
Kritik oto kritik pada suatu
negara demokrasi adalah hal wajar, terlebih menyangkut hajat orang banyak,
khususnya terhadap penyelenggara negara, seperti DPR, pemerintah, birokrasi,
dan semacamnya. Itulah mengapa, menyampaikan pendapat di muka umum itu jelas
diperbolehkan kecuali melanggar ketentuan.
Kritik bisa kita pahami
sebagai cara menyempurnakan sebuah sistem yang dinilai kurang baik. Termasuk
ketika Revisi UU KPK dan RUU KUHP yang belakangan menjadi berdebatan publik
karena beberapa pasal dinilai tidak subtansial. Hingga langkah demonstrasi pun
dianggap perlu sebagai bentuk protes dan masukan terhadap DPR dan pemerintah.
Sebagai warga negara,
penulis tetap bangga terhadap aksi yang dilakukan mahasiswa, meskipun tidak
sedikit juga yang merundung karena dianggap sarat dan ditunggangi oleh
kepentingan politik.
Penulis masih sangat yakin,
di negeri ini, satu-satu elemen masyarakat yang masih jernih dan tertanam serta
terpantri edialismenya adalah mahasiswa.
Maka ketika mahasiswa yang
memiliki jiwa suci dalam pandangan politik itu, kemudian tergerak hatinya, lantang
suaranya, dan berani mengatakan "tidak" terhadap sebuah keputusan
penyelenggaran negara, bukan karena mahasiswa ditungganggi tapi karena memang
ada persoalaan keadilan yang mesti ditegakkan.
Langkah demonstrasi kadang
memang perlu menjadi pilihan terakhir untuk mengawal sebuah keputusan politik,
ketika alternatif lain diabaikan. Apalagi ketika komunikasi antara mahasiswa
dan penyelenggara negara cendrung tidak berjalan, padahal komunikasi itu
diperlukan untuk dijadikan acuan dalam mengambil keputusan.
Mari Introspeksi Diri
Melihat aksi mahasiswa,
penulis sangat bangga, haru bahkan sedih. Bangga karena mahasiswa masih
memiliki semangat juang, haru karena menelan korban hingga meninggal, dan sedih
karena dianggap tunggangi kepentingan politik.
Terlepas dari itu, secara
sudut pandang penulis tidak hanya melihat tuntutan aksi mahasiswa tersebut sebagai akar dari
persoalaan, tapi ada persoalan lain yang menggerakkan hati nurani mereka untuk mengingatkan DPR dan pemerintah bahwa
negara ini tidak sedang baik-baik saja.
Hipotesa tersebut berangkat
dari pernyataan yang menganggap mahasiswa tidak paham persoalan, apa yang
menjadi tuntutan mereka, dan kemudian dipelintir sebagai aksi yang ditunggangi
untuk menggagalkan presiden dilantik pada 20 oktober 2019 mendatang.
Mungkin " ia" dari
sekian banyak mahasiswa, hanya segelintir orang yang paham atau bahkan tidak
mengerti hukum sekalipun karena latar belakang studi yang berbeda atau yang
paling miris seperti dipertontonkan, pelajar STM diwawancara kemudian tidak
bisa menjawab secara akademis maupun analisa UU yang dipersoalkan.
Terlepas dari pro kontra
terhadap aksi mahasiswa tersebut, ada momen menarik yang disampaikan, yakni
"mosi tidak percaya kepada DPR". Sikap tersebut seolah-olah ingin menjelaskan
kepada public, bahwa DPR tak lagi menjadi wakil rakyat yang baik, serta tidak
mampu memperjuangkan apa yang menjadi kepentingan rakyat.
Sikap itu tentu jangan
dipandang untuk merendahkan DPR sebagai lembaga negara. Sebab, jika kita semua
mau bersikap jujur, memang selama ini
DPR bukan saja dinilai tidak menghasilkan produk pro rakyat, tapi juga dikenal
sebagai lembaga yang menghasilkan oknum terkorup.
Fenomena ini tentu menjadi
tamparan keras dan wajib dijadikan ajang introspeksi, bukan untuk saling menyalahkan satu sama
lain, apalagi menyalahkan orang lain untuk menutupi kesalahan sendiri.
Intropeksi bukan hanya untuk
DPR, tapi untuk kita semua khususnya
komponen penyelenggara negara. Apa
sebab? Tentu hal ini karena nyaris segenap komponen penyelenggara negara kurang dipercaya, meskipun sudah bertopeng
malaikat dan berbicara berlapis dengan ayat-ayat yang terdengar suci, tapi
rakyat adalah korban langsung yang tidak bisa dibohongi.
Persoalaan itu bukan lagi
rahasia umum, sangat sering terdengar di telinga kita bahkan terpampang tanpa busana, bahwa cara-cara kotor itu
menjadi kebiasaan. Misalnya, jual beli jabatan, jual beli proyek di lembaga
negara, suap-menyuap, politik oligarki, dan korupsi.
Contoh lain lebih sederhana,
misalnya setiap pascapilkada, pemilu atau sejenisnya, akan ada perubahan
struktural jabatan birokrasi dari atas ke bawah, dari bawah ke atas, tapi
sayangnya itu hanya menjadi cerita rakyat yang melegenda, sulit dibuktikan dan
diadili karena caranya dipoles serapi
dan seanggun mungkin.
Praktik-praktik KKN itu
seperti drama romantis yang setiap hari tayang di televise, gambarnya terlihat dan suaranya terdengar jelas,
namun tak bisa menyentuhnya, sehingga hanya bisa dinikmati saja.
KKN itu persis layaknya
sebuah film, ada yang menyutradarai. Siapa? Yang jelas itu adalah pemegang
otoritas kekuasan yang dengan mudah mengintervensi, misalnya DPR, pemerintah,
birokrasi ataupun semacamnya.
Karena praktik-praktik
semacam itulah kekacauan bersumber, pembangunan tidak maksimal: pelayanan
amburadul, lingkungan pun rusak, pendidikan tak begitu baik, pelayanan
kesehatan buruk, kemiskinan, dan pengangguran belum mampu
diatasi.
Itulah mengapa penulis
sangat yakin bahwa sebenarnya mahasiswa bergerak atas kegelisahan bersama, kemuakan,
dan ketidakpercayaan atas praktik haram oknum penyelenggara negara yang
sudah membudaya dan sangat kronis serta akut, sehingga pelan-pelan bukan saja
menghambat kemajuan negara tapi juga menghancurkan.