Ponticity post authorelgiants 22 Maret 2020

Pekerja Migran Indonesia Sarapan Roti Sebesar Jempol Jari hingga Hukum Cambuk

Photo of Pekerja Migran Indonesia Sarapan Roti Sebesar Jempol Jari hingga Hukum Cambuk Pekerja Migran Indonesia (PMI)

Setahun yang lalu, Putra, bersama seorang temannya berangkat ke Malaysia. Pekerjaan dan tempat menginap di sana sudah pasti. Begitu juga dengan gaji, per hari dibayar 60 ringgit. Artinya, dalam sebulan setidaknya ia mampu mengumpulkan tabungan sebesar Rp5 jutaan, setelah dipotong kebutuhan hidup di negeri jiran sana.

Semangat Putra menggebu, tawaran kerja sebagai juru masak di sebuah kedai di kota Kinabalu, Malaysia membuat ia memutuskan tak melanjutkan pendidikan setelah tamat dari SMA.

“Niat sayakan mau bantu orangtua di kampung, makanya saya berangkat,” ungkap Putra.

Putra sebetulnya bukan nama aslinya. Itu nama panggilan oleh si bos kedai. Nama itu juga sudah diabadikannya di lengan sebelah kiri tangannya. Dari jarak satu meter sudah tampak tato hitam bertuliskan nama itu, lengkap dengan motif dayak.

Dari kampungnya, Kecamatan Nanga Mahap, Kabupaten Sekadau, berangkatlah ia. Dokumen untuk masuk ke negara itu sudah dikantongi, kecuali permit. Janji si Pembawa, permit akan segera dibuatkan oleh si bos kedai jika sudah mulai bekerja di sana.

Dua bulan bekerja masih baik-baik saja. Si bos lancar membayar gaji sesuai harapan. Tapi masuk bulan keempat dan kelima gaji ditunggak, begitu juga dengan janji permit yang kunjung tak dibuat. Hingga suatu hari, polisi Malaysia merengsek ke kedai tempat ia bekerja. Ia digiring ke penampungan karena tak mengantongi permit.

Lima bulan ia mendekam di penampungan Imigrasi Malaysia itu. Usia masih muda, sudah barang tentu ingatannya masih kuat mengingat bagaimana kehidupan di sana. Bersama dengan Pekerja Migran Indonesia lainnya, ia menjalani kehidupan sebagai tahanan sebelum dideportasi balik ke Indonesia.

Selama lima bulan jadi tahanan, sudah tentu, kata Putra tak mengenakkan. Misalnya saja urusan makan, pada pagi hari ia dan PMI ilegal lainnya akan diberi sarapan dua potong roti sebesar jempol jari dan minum teh tak bergula. Itupun, jam sembilan pagi baru diberi.

Untuk makan nasi, nanti sekitar pukul dua baru dibagi. Lauknya tak jauh dari ikan. Begitu juga dengan makan malam. Dan terkadang mereka harus membiasakan diri melewatkan makan malam dan menahan lapar hingga esok pagi.

Cerita Putra tak berhenti di situ, di lain orang, Asriadi Jamaron asal Makassar, Sulawesi Selatan bercerita dia dan sejumlah PMI ilegal lain pernah mendapat kekerasan fisik dari pihak Imigrasi kerajaan Malaysia. Bahkan, teman sekampungnya terpaksa menjalani hukuman cambuk.

“Sehari itu bisa dua kali dicambuk di pantat, sampai berdarah-darah itu,” ungkapnya. Hukuman ini khusus bagi PMI yang sama sekali tak memiliki dokumen apapun.  

Putra dan Asriadi merupakan dua di antara 178 PMI yang dideportasi melalui PLBN Terpadu Entikong pada Sabtu (21/3) malam WIB. Mereka ditampung sementara di Dinas Sosial Provinsi Kalbar, sebelum nantinya dipulangkan ke daerah masing-masing.

Kasi Penempatan dan Pemberdayaan Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Pontianak, Andi Kusuma Irfandi mengatakan pemulangan ini merupakan kali ketiga sejak Januari 2020 kemarin. Terhitung hingga saat ini sudah 902 PMI yang dideportasi.

Kata dia, sejak Covid-19 atau sebutan lain virus korona mewabah, kerajaan Malaysia saat ini memang sedang gencar melakukan rajia besar-besaran terhadap PMI. Bahkan, pemerintah Malaysia sudah melakukan lock down di seluruh perbatasan negara salah satunya negara bagian Sarawak yang berbatasan langsung dengan Kalimantan Barat.

“Dan tidak menutup kemungkinan pemulangan akan ada lagi nanti,” kata dia.

Berdasarkan datanya, Kalbar masih menjadi angka tertinggi PMI yang dideportasi, yakni sebanyak 78 orang. Sementara sisanya berasal dari Jawa Timur 10 orang, Jawa Tengah tiga orang, Jawa Barat lima orang, NTT tiga orang, NTB 20 orang, Banten satu orang, Riau satu orang, Sulawesi Selatan  42 orang, Sulawesi Barat enam orang, Aceh tujuh orang, DIY dan Lampung masing-masing satu orang.

“Permasalahan mereka rata-rata tidak memiliki paspor, permit dan ikut orangtua. Ada beberapa yang melapor ke KJRI Kuching karena hendak dipulangkan,” tutupnya. (Suria Mamansyah)

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda