Gaya Hidup post authorPatrick Sorongan 07 Desember 2022

Facebook dan Google Wajib Bayar Berita, Meta pun Melawan: Pilu, Jurnalistik telah Berubah!

Photo of Facebook dan  Google Wajib Bayar Berita, Meta pun Melawan: Pilu, Jurnalistik telah Berubah! MEDIA TRADISIONAL - Ilustrasi pro dan kontra media tradisional.(Foto: Via Mindecology)

Jika RUU tentang Persaingan dan Pelestarian Jurnalisme lolos di DPR AS, maka setiap media sosial (medsos) wajib membayar semua berita yang mereka muat ke pihak penerbit dan penyiar.

Wajib bayar ini juga berlaku bagi tiga raksasa medsos, Twitter; Meta Inc (membawahi Facebook, Messenger, WhatsUp dan Instagram), dan Google (termasuk membawahi YouTube), sebagaimana laporan Patrick Sorongan dari Suara Pemred berikut ini.

PEMBAYARAN  ini juga wajib pula untuk berita-berita yang diunggah sendiri oleh netizen ke statusnya di semua medsos.

Adapun RUU serupa pernah digodok di DPR Australia, sedangkan di DPR Kanada lewat RUU tentang Berita Online.

Tapi belakangan, terjadi perlawanan kencang dari pihak Meta Inc, termasuk ketika pihak Meta Inc berhadapan dengan jaringan media raksasa dunia, News Corp milik Rupert Murdoch.

Batalnya RUU tersebut di Australia dan Kanada disebabkan terjadinya perlawanan dari pihak Meta Inc, raksasa teknologi yang merupakan induk Facebook.

Karya jurnalistik sendiri adalah hasil jerih payah wartawan dari lapangan, bagian dari karya intelektual,  yang tentunya memiliki harga tersendiri, dan dilindungi hak cipta (copy right) atau perlunya izin atau mencantumkan sumber beritanya jika dikutip oleh media massa lain atau medsos.

Tanpa Iklan Google Ads pun Harus Dibayar

Memang, selama ini, raksasa-raksasa teknologi, terutama Google lewat layanan Google Ads-nya, membagikan (sharing) pendapatan iklannya ke media massa, setelah produk penerbit atau lembaga penyiaran itu memenuhi persyaratan tertentu.

Persyaratan itu, antara lain, terkait dengan durasi membaca, jumlah pembaca, dan jumlah pelanggan (subscriber).

Setelah memenuhi sejumlah syarat itu, maka pembayaran (monetize) pun dilakukan dari iklan Google Ads yang muncul lewat berita produksi  perusahaan penerbit dan lembaga penyiaran baik milik swasta maupun pemerintah.

Walaupun berita media massa  lewat portal online-nya (karena semua media massa umumnya sudah memiliki versi online) otomatis produknya termuat di Google, tapi jika  jumlah pembaca maupun durasi membaca dianggap minus,  pembayaran tak akan dilakukan oleh Google.

Karena itu, atas dasar bahwa berita adalah karya intelektual, maka Senat (DPR) AS pun menggodok Undang-undang (RUU)  tentang Persaingan dan Pelestarian Jurnalisme.

UU itu  mengharuskan suatu berita untuk dibayar begitu muncul di platform internet, termasuk di dua platform raksasa teknologi, Facebook dan Google.

Mengetahui bahwa RUU tersebut akan segera disetujui di Senat AS, pihak Meta Inc  mengeluarkan peringatan publik.

Pada Senin, 5 Desember 2022, Insider melaporkan, Meta menyatakan bahwa pihaknya dapat menghapus semua berita dari platform-nya  di AS,  jika DPR di negara itu meloloskan  RUU tentang Persaingan dan Pelestarian Jurnalisme.

UU  kompetisi media itu akan memaksa Meta Inc dan platform lain untuk memberikan kompensasi kepada penerbit dan penyiar.

Andy Stone, Direktur Komunikasi-Kebijakan Meta Inc memposting pernyataan perusahaan di Twitter mengenai posisinya di UU Persaingan dan Pelestarian Jurnalisme.

Menurut pihak Meta Inc, RUU jurnalisme tersebut dianggap buruk. Karena itu, katanya: "Meta akan dipaksa untuk mempertimbangkan penghapusna berita dari platform kami sama sekali."

RUU tersebut diperkenalkan oleh Senator Amy Klobuchar dengan dukungan bipartisan, dan akan memungkinkan penerbit untuk bernegosiasi dengan platform media sosial seperti Facebook dan Google.

Negoisasi tersebut terkait  bagaimana konten mereka didistribusikan ke platform tersebut. Ini termasuk mewajibkan perusahaan  media sosial untuk membayar konten berita.

Tapi, pihak Meta Inc berdalih bahwa UU Persaingan dan Pelestarian Jurnalisme gagal mengenali fakta utama bahwa  justru penerbit dan penyiar menempatkan konten mereka sendiri di platform-nya

"Makanya, itu menguntungkan mereka, bukan sebaliknya," dalih pihak Meta Inc dalam pernyataannya.

"Tidak boleh ada perusahaan yang dipaksa membayar konten yang tidak ingin dilihat pengguna lain,  dan itu bukan sumber pendapatan yang berarti," tambahnya.

RUU tersebut telah disetujui oleh Komite Kehakiman Senat AS pada September 2022, tetapi belum melewati majelis tersebut.

Perusahaan tersebut juga mengeluarkan ancaman serupa ke Kanada pada Oktober 2022 terkait RUU Berita Online, yang juga akan mewajibkan platform untuk membayar berita.  

Kegagalan  DPR Australia

Meta telah lama berjuang melawan kebijakan serupa. Pada 2021, raksasa media sosial itu untuk sementara melarang penggunanya  di Australia untuk melihat, berbagi, atau berinteraksi dengan konten berita di platformnya.

Hal ini dilakukan  setelah Australia mengusulkan UU serupa,  yang memaksa perusahaan seperti Meta Inc membayar perusahaan media untuk konten berita.

Larangan tersebut bahkan mencegah pengguna di seluruh dunia untuk melihat berita yang didistribusikan oleh perusahaan media Australia.

Selain itu, larangan dari pihak Meta Inc itu sudah termasuk memblokir halaman untuk departemen pemadam kebakaran, layanan darurat, bank makanan, dan organisasi penting lainnya di Australia.

Meta Inc membatalkan larangan tersebut setelah RUU diubah,  dan mencapai kesepakatan dengan News Corp milik Rupert Murdoch untuk membayar perusahaan media tersebut untuk mendistribusikan kontennya di Facebook.

Rupert Murdoch, lahir di Australia, 11 Maret 1931, adalah pemilik News Corp, salah satu perusahaan media terbesar sekaligus paling berpengaruh di dunia.  

Perusahaan yang dimiliki News  Corp,  di antaranya adalah Fox News, 20th Century Fox (1985), The Wall Street Journal (2007) dan HarperCollins (1989) di AS dan BSkyB (1990) di Britania Raya.  Murdoch sebelumnya merupakan warganegara Australia, namun kini menjadi warganegara AS. 

Google 'Perkosa' Stilistik Berita, Good Bye Piramida Terbalik!

Dalam catatan Suara Pemred, maraknya era digital sejak satu dekade terakhir ini telah mematikan media-media massa konvensional. 

Kehadiran koran-koran internet alias portal berita memaksa media-media cetak raksasa di berbagai belahan dunia untuk mengurangi oplahnya,  jika tak mau gulung tikar, sekaligus pula mereka membuat versi online. 

'Budaya smartphone' membuat masyarakat dunia kian malas membolak-balik koran, walaupun sebelum era internet, masalah 'kemalasan' ini berusaha disiasati dengan mencetak koran dari versi konvensional menjadi ukuran tabloid karena keringkasannya. 

Iklan pun lebih banyak diharapkan dari Google Ads yang sedang menjadi tren, sementara iklan konvesional tetap dipertahankan,  walaupun hanya sekadar 'nomor bukti; untuk pelanggan tertentu,  termasuk untuk instansi pemerintah.

Dominsi Google dalam menguasai periklanan  di dunia telah otomatis mengubah bentuk (stilistik) berita, dari 'Piramida Terbalik' menjadi versi 'Piramida'.  

Artinya, aspek-aspek penting di lead berita dalam Piramida Terbalik, sudah ditinggalkan. Hal ini karena unsur 'apa, siapa, di mana, apabila, bagaimana' (Adikamba) dalam penyusunan berita, alias 5W+1H alias Five Ws alias W-H (Qustion), telah minus digunakan. 

Keenam unsur pembentuk berita ini seyogyanya menjadi kerangka dalam penyusunan laporan terkait subjek.

Menurut landasan Asdikamba, suatu laporan dapat dianggap lengkap jika dapat menjawab pertanyaan yang menggunakan kata tanya sebagai berikut: Apa yang terjadi?; Siapa yang terlibat?; Di mana kejadiannya?; Kapan terjadinya?; Mengapa hal itu terjadi?; dan Bagaimana terjadinya?

Pertanyaan tersebut harus faktual agar sempurna, sehingga semua fakta yang terjadi apa adanya untuk disertakan dalam laporan.

Yang penting, tidak ada pertanyaan yang hanya dapat dijawab singkat, semisal hanya  'ya' atau 'tidak', benar' atau 'salah'. 

Masalahnya, demi bisa mendapatkan iklan dari Google Ads, penulisan berita sekarang ini, harus ditulis bertele-tele, yang klimaksnya baru muncul di ujung berita.  

Dengan demikian, pembaca menjadi penasaran, dan dalam setiap situasi seperti inilah,  maka iklan akan muncul. 

Televisi Konvensional pun Tumbang

Popularitas smartphone dan tablet dalam beberapa tahun terakhir ini telah mampu menyalip televisi konveisonal.

Sebuah studi dari lembaga survei AC Nielsen  menegas kan apa yang sekarang tengah terjadi, di mana smartphone menang,  dan televisi tradisional kehilangan pamornya, terutama, untuk pemirsa berusia 18-34 tahun

Dalam surveinya,  Nielsen menyatakan bahwa menonton televsi tradisional untuk semua kelompok umur mencapai puncaknya dalam kurun waktu 2009-2010.

Hingga saat itu, penon ton untuk televisi telah tumbuh setiap tahun sejak 1949.

Kini, angkanya terus merosot.  Studi ini adalah yang pertama dilakukan Nielsen secara komprehensif untuk melihat perilaku menonton video melalui televisi tradisional, internet, ponsel, dan perangkat lainnya

Data yang mendasari laporan ini menunjukkan bahwa di antara responden usia 18 sampai 34 tahun, penggunaan smartphone, tablet, dan perangkat yang terhubung dengan televisi, seperti streaming atau game konsol meningkat lebih dari 25 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, di mana sekitar 8,5 juta orang per menit.

Dalam kategori yang sama, jumlah penonon televisi turun 10 persen menjadi 8,4 juta orang per menit.

Banyak orang menggantikan kebiasaan menonton televisi atau mendengarkan radio melalui perangkat konvensional. Semuanya sudah berganti dengan penggunaan layanan streaming, seperti Netflix, perangkat mobile, dan layanan web seperti YouTube.

Sementara bagi media cetak kelas raksasa sekalipun,  selain melakukan konvergensi media ke portal berita dan televisi internet minimal lewat YouTube (sebagai platform gratis), maka muncul tren berita berlangganan. 

Koran-koran besar yang sudah masuk ke internet,  hanya menggratiskan beritanya dibaca untuk beberapa menit,  kemudian akan muncuk keharusan untuk berlangganan dengan biaya tertentu.

Jangan Salahkan Amerika 

Internet sendiri adalah singkatan dari Interconnected network atau arti harfiahnya: 'jaringan yang saling berhubungan'.

Inilah sistem jaringan komputer yang saling terhubung secara global,  dengan menggunakan paket protokol internet (TCP/IP) untuk menghubungkan perangkat di seluruh dunia.  

Internet adalah jaringan yang terdiri dari jaringan privat, publik, akademik, bisnis, dan pemerintah lokal ke lingkup global, yang dihubungkan oleh beragam teknologi elektronik, nirkabel, dan jaringan optik.  

Internet menghadirkan beragam sumber daya dan layanan informasi, seperti dokumen hiperteks yang saling terkait dan aplikasi World Wide Web (WWW), surat elektronik, telepon, dan berbagi file. 

Asal usul Internet sendiri berasal dari penelitian yang ditugaskan oleh Pemerintah Federal AS pada dekade 1960-an untuk membangun komunikasi yang kuat dan toleran terhadap kesalahan dengan jaringan komputer. 

Jaringan prekursor utama, ARPANET, awalnya berfungsi sebagai tulang punggung untuk interkoneksi jaringan akademik dan militer regional pada dekade 1980-an.  

Pendanaan dari National Science Foundation Network sebagai tulang punggung baru pada 1980-an, serta biaya swasta untuk ekstensi komersial lainnya,  mendorong partisipasi dunia dalam pengembangan teknologi jaringan baru, dan penggabungan banyak jaringan. 

Keterkaitan jaringan komersial dan perusahaan pada awal dekade 1990-an,  menandai dimulainya transisi ke internet modern, yang menghasilkan pertumbuhan eksponensial yang berkelanjutan,  ketika generasi komputer institusional, personal dan seluler,  terhubung ke jaringan.  

Meskipun internet banyak digunakan oleh akademisi sejak dekade 1980-an, dilakukan komersialisasi yang memasukkan layanan dan teknologinya ke dalam hampir setiap aspek kehidupan modern.

Sebagian besar media komunikasi tradisional, termasuk telepon, radio, televisi, surat kertas dan surat kabar akhirnya dibentuk ulang, didefinisikan ulang, atau bahkan dilalui oleh internet. 

Dengan demikian, lahirlah layanan baru,  seperti email, telepon internet, televisi internet, musik online, surat kabar digital, dan situs video streaming web.  

Surat kabar, buku, dan penerbitan cetak lainnya beradaptasi dengan teknologi situs web, atau dibentuk kembali menjadi blogging, feed web, dan agregator berita online.  

Internet telah memungkinkan dan mempercepat bentuk interaksi pribadi baru melalui pesan instan, forum Internet, dan jejaring sosial.  

Belanja online telah tumbuh secara eksponensial baik untuk mengubah besar, usaha kecil dan pengusaha, karena memungkinkan perusahaan untuk memperluas kesadaran 'batu bata dan mortir' mereka. 

Tujuannya,  untuk melayani pasar yang lebih besar, atau bahkan menjual barang dan sepenuhnya secara online.  

Layanan bisnis-ke-bisnis dan keuangan Internet mempengaruhi rantai pasokan di seluruh industri. Internet tidak memiliki tata kelola tunggal dalam penerapan teknologi atau kebijakan untuk akses dan penggunaan. Ini karena etiap konstituen jaringan menetapkan kebijakannya sendiri.

Definisi melampaui batas dari dua ruang nama utama di Internet, ruang alamat Protokol Internet (alamat IP) dan Sistem Penamaan Domain (DNS). Semuanya diarahkan oleh organisasi pengelola, Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN).  

Dasar-dasar teknis dan protokol standarisasi inti adalah kegiatan dari Internet Engineering Task Force (IETF), sebuah organisasi nirlaba dari para peserta internasional yang berafiliasi secara terbuka,  yang dapat diajak bekerjasama oleh siapa saja dengan kontribusi berkeahlian teknis.

Pada November 2006, internet dimasukkan ke dalam daftar Tujuh Keajaiban Baru dari USA Today, dan sejak itu pula, dunia berubah oleh internet, termasuk berubah totalnya industri pers, termasuk gaya penulisan yang menjadi bertele-tele.  

Di media digital Indonesia pula, kualitas penulisan umumnya terlihat tidak lagi mengikuti Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan  remaja ingusan yang baru tamat SLTA pun sudah bisa menjadi 'wartawan'  di media online.*** 

 

Sumber: Insider, Wikipedia, Berbagai sumber 

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda