Suku Baduy merupakan suku yang terkenal dengan tertutupnya budaya mereka dan menolak adanya modernisasi. Mereka mempunyai identitas yang sangat mencolok dengan keunikan budaya dan tradisi adat istiadatnya yang telah dipegang secara turun menurun. Menariknya, letak Suku Baduy dekat dengan kebisingan ibu kota, yakni terletak di wilayah Banten, Kabupaten Lebak. Meskipun begitu, mereka tetap memegang teguh kebudayaan leluhurnya menolak modernisasi budaya luar, dan mengisolasi diri dari dunia luar. Sehingga masyarakat suku ini terikat dengan aturan adat yang ketat dengan serba tradisional dan menolak kata modernitas. Mereka tidak ingin budayanya terkontaminasi dengan budaya luar untuk menjaga tradisi yang sudah menjadi pegangan turun menurun dalam kehidupan bermasyarakat.
Menarik untuk diteliti, Suku Baduy memilik corak budaya yang menjadi ciri khas mereka dalam gaya hidup, religiuitas, pengetahuan dan kepedulian dalam menjaga lingkungan. Misalnya, mereka memilki kepercayaan untuk menjaga keseimbangan alam, mereka diciptakan untuk mengelola tanah suci, yang menurutnya 'taneuh titipan'. Dalam kepercayaan mereka empunya tugas untuk menjaga tanah supaya tidak rusak, gunung tidak boleh dilebur, hutan tidak boleh dirusak, aliran air tidak boleh diganggu dan lembah tidak boleh dirusak. Kepercayaan-kepercayaan semacam ini membuat mereka dekat dnegan alam dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Dan harusnya menjadi contoh masyarakat zaman sekarang yang tengah menggembur-gemburkan climate change, dengan menjaga bumi.
Menjadi perhatian yang serius selain kepercayaan mereka, namun ada hal yang yang harus mereka bayar dalam menjaga alam ini. Mereka menolak dengan tegas dan menutup diri dari kemodernan dari dunia luar, termasuk diantaranya kemajuan dalam bidang teknologi. Aturan yang mereka miliki pun melarang anak anak masyarakat baduy untuk bersekolah, sehingga mereka benar-benar menutup mata dan telinga mengenai dunia luar dan hidup mandiri dalam suku mereka sendiri.
Dalam segi kepercayaannya Suku Baduy Kanakes memiliki kepercayaan yang disebut Sunda Wiwitan yang berdasarkan pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin berkembang dan dipengaruhi oleh agama lainnya seperti Islam, Budha dan Hindu. Pengaruh agama Budha terlihat dari asala nama “Baduy” yang diungkapkan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa “Baduy” berasal dari kata “Budha”. Perkembangannya sekarang, kepercayaan yang dianut masyarakat Baduy sudah dipengaruhi oleh agama Budha dan Hindu. Kepercayaan masyarakat Baduy disebut sunda wiwitan yang berakar pada pemujaan arwah nenek moyang (animisme). Namun, perkembangan sekarang kepercayaan sunda wiwitan sudah dipengaruhi oleh agama Islam. Banyak warga yang memeluk agama islam, namun masih tetap mempercayai kepercayaan sunda wiwitan.
Arca Domas merupakan objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Baduy, arca dianggap paling sakral. Masyarakat mengunjungi lokasi tersebut dan melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan kalima. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Masyarakat Baduy sangat taan pada Puun atau pimpinan tertinggi suku Baduy. Suku Baduy dalam kepercayaan sunda wiwitan mengakui adanya Alloh sebagai “Guriang Matua” yang merupakan pencitpa alam semesta. Kepercayaan sunda wiwitan berorientasi pada menjalankan kehidupan yang mengandung ibadah, perilaku, ucapan, dan berpola hidup sederhana.
Sekretaris Daerah Kabupaten Lebak, Dede Jaelani mengatakan, destinasi wisata Badui mampu mendunia. Karena, wisata Badui memiliki keunikan dengan melestarikan budaya setempat.
"Masyarakat Badui masih mempertahankan budaya nenek moyang dengan menolak modernisasi," katanya saat membuka Badui Festival Tahun 2017 di Lebak, Banten, Rabu (20/12).
Masyarakat Badui yang tinggal di Pegunungan Kendeng, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak banyak dikunjungi wisatawan domestik hingga mancanegara. Potensi objek wisata Badui memiliki nilai jual karena tidak terdapat di daerah lain di Pulau Jawa.
Masyarakat Badui masih mempertahankan adat leluhur dengan menolak kehidupan modern, seperti penerangan listrik, peralatan elektronika, maupun jalan beraspal. Bahkan, masyarakat Badui Dalam kemana pun pergi harus berjalan kaki dan tidak boleh menggunakan angkutan kendaraan.
Pemerintah daerah setempat terus mengembangkan objek wisata adat guna mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD) dan pertumbuhan ekonomi masyarakat.
"Kami terus mengoptimalkan promosi agar wisata Badui bisa mendunia," katanya lagi.
Menurut dia, filosofi masyarakat Badui "gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak" (gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak), sehingga masyarakat Badui berkomitmen untuk menjaga dan mengelola sumber daya alam. Filosofi itu tentu mengandung rujukan pembelajaran bagi semua pihak untuk mengelola sumber daya alam, agar mampu memberikan manfaat untuk kesejahteraan masyarakat.
"Kami berharap wisata budaya Badui menjadi ikon Kabupaten Lebak," katanya lagi.
Sekretaris Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar Sarpin mengatakan selama ini rombongan pengunjung objek wisata Badui kebanyakan dari perguruan tinggi, sekolah, peneliti, lembaga, instansi swasta, dan pemerintah, sedangkan dari kalangan keluarga relatif kecil.
"Kami yakin ke depan kunjungan wisata adat Badui meningkat, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan lokal," kata Sarpin.
Menolak Internet
Suku Baduy ini sangat unik diantaranya kehidupan mereka di pedalaman hutan menolak perkembangan teknologi dan tentunya sangat sulit untuk terdokumentasikan.
Seperti baru-baru ini Suku Baduy menolak adanya internet di wilayah mereka.
Mereka meminta untuk jaringan internet dihilangkan karena bisa mengakibatkan merosotnya moral generasi yang bisa mengakses berbagai aplikasi dan konten yang bertentangan dengan adat.
Setelah mengajukan pemutusan internet beberapa bulan lalu, kini wilayah Suku Baduy Dalam, Banten resmi menolak koneksi internet guys. Pemutusan layanan internet ini diungkapkan langsung oleh pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
"Berdasarkan hasil verifikasi lapangan dan koordinasi dengan operator seluler, ditemukenali bahwa upaya pembatasan/penghilangan sinyal hanya diperlukan untuk IOH," kata Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Dirjen IKP) Usman Kansong dalam keterangannya, dikutip dari CNN Indonesia.
Dari kebijakan baru ini, pihak Indosat Indosat Ooredo Hutchison (IOH) lah yang paling merasakan dampaknya.
Pemutusan sinyal internet di wilayah Desa Ulayat Baduy ini memang dilakukan karena permohonan khusus dari warga Baduy Dalam lewat surat yang dikirim ke Bupati Lebak.
Dirjen IKP Usman Kansong menjelaskan kalo pemutusan sinyal internet ini sudah diselesaikan oleh pihak IOH pada September 2023 lalu. Pihak operator seluler tersebut sudah mendesain coverage sinyal supaya enggak bisa menjangkau wilayah Baduy Dalam.
Meski begitu, Usman belum bisa memastikan apakah masih ada beberapa wilayah Baduy Dalam yang masih terkenal sinyal internet akibat faktor geografis.
"Tetapi memang kemungkinan masih ada pantulan sinyal internet dari Baduy Luar ke dalam bisa saja terjadi karena posisi geografisnya baduy dalam konturnya flat tidak ada bloking sinyal karena tidak ada bukit," kata Usman
Pada Juni lalu, para tetua adat Suku Baduy Dalam meminta kawasan Desa Kanekes, Leuwidamar, Lebak bebas dari sinyal internet. Keputusan ini diambil karena mereka enggak ingin warga Baduy Dalam terpengaruh konten negatif di internet.
Dilansir dari CNN Indonesia, permintaan itu disampaikan lewat surat yang ditandatangani oleh Tangtu Tilu Jaro Tujuh, Wakil Jaro Tangtu, Tanggungan Jaro 12, Wakil Jaro Warega, serta diketahui oleh Jaro Pamarentah atau Kepala Desa Kanekes kepada Pemerintah Kabupaten Lebak.
Dibandingkan Baduy Luar, Suku Baduy Dalam memiliki aturan yang lebih ketat dan tegas. Meski begitu, masih ada aja wisatawan nakal yang diam-diam menggunakan handphone di wilayah Baduy Dalam.
Kelakuan para wisatawan inilah yang membuat para tetua adat disana geram hingga melayangkan surat permintaan pemutusan sinyal internet kepada Pemerintah Kabupaten Lebak.
Saat ini, sinyal internet di wilayah Baduy Dalam resmi dimatikan atau diputus. Kepala Desa Kanekes, Saija, berharap pemutusan sinyal internet ini bisa membuat para wisatawan lebih mematuhi aturan yang berlaku di Desa Baduy Dalam.
Pemimpin Lembaga Adat Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten meminta penghapusan sinyal internet di wilayahnya.
Permintaan tersebut disampaikan melalui surat yang dilayangkan ke Bupati Lebak.
Dalam surat yang diterima, Kamis (8/7/2023), surat ditandatangani oleh Kepala Desa Kanekes Saija.
Termuat dua poin permohonan dalam surat tersebut.
Poin pertama adalah permohonan penghapusan sinyal internet, atau mengalihkan pemancar sinyal (tower), agar tidak diarahkan ke wilayah Tanah Ulayat Baduy dari berbagai arah, sehingga Tanah Ulayat Baduy menjadi wilayah yang bersih dari sinyal internet (blankspot area internet).
Kemudian poin kedua permohonan untuk membatasi, mengurangi atau menutup aplikasi, program dan konten negatif pada jaringan internet yang dapat mempengaruhi moral dan akhlak generasi bangsa.
Kepala Desa Kanekes, Saija, saat dikonfirmasi membenarkan terkait surat tersebut.
Menurutnya surat permohonan itu dilayangkan ke pemerintah setelah melalui musyawarah antar Barisan Kolot di Baduy.
Para Barisan Kolot dari Lembaga Adat Baduy tersebut, kata Saija, keberatan dengan keberadaan dua tower sinyal internet yang memancar ke wilayah Tanah Ulayat Baduy.
“Arahan dari Lembaga Adat Baduy ada dua pemancar, satu di Cijahe dan kedua di Sobang sinyalnya diarahkan ke luar Baduy,” kata Saija melalui sambungan telepon, Kamis (8/7).
Menurut Saija, keberadaan sinyal internet terutama di wilayah Baduy Dalam membawa dampak negatif.
Hal tersebut terjadi, karena mengakibatkan generasi penerus di Baduy dengan mudah mengakses berbagai aplikasi dan konten tidak mendidik yang bertentangan dengan adat.
“Usulan ini dibuat bertujuan sebagai upaya dan usaha kami pihak lembaga adat untuk memperkecil pengaruh negatif dari penggunaan terhadap warga kami,” ujar Saija.
Permohonan penghapusan sinyal tersebut, diprioritaskan untuk di wilayah Baduy Dalam. Sementara di Baduy Luar sinyal masih dibutuhkan untuk keperluan bisnis dan komunikasi dengan pemerintah. Wilayah Baduy Dalam meliputi tiga kampung Cikeusik, Cibeo di Cikartawana.
“Kalau di luar kan banyak yang usaha, jadi masih dibutuhkan untuk bisnis online,” kata dia.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lebak, Imam Rismahyadin mengatakan, mendukung permohonan penghapusan sinyal internet di Baduy.
Menurutnya hal tersebut bisa menjadi upaya untuk mempertahankan kearifan lokal dan menjaga identitas suku Baduy. Namun demikian, kata Imam, permohonan tersebut akan dibahas dahulu dengan stakeholder terkait. Sementara kaitan dengan pariwisata, kata Imam, bisa menjadi daya tarik untuk wisatawan datang ke Baduy.
“Justru akan menambah banyak orang melakukan saba Budaya Baduy tentunya dengan tetap menaati aturan setempat,” kata dia.
Menolak Dana Desa
Masyarakat adat Baduy di Desa Kanekes, Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten menolak bantuan dana desa sebesar Rp 2,5 miliar yang dikucurkan pemerintah untuk pembangunan infrastuktur guna menunjang pertumbuhan ekonomi di daerah itu.
"Penolakan itu, karena pembangunan dikhawatirkan merusak kelestarian adat," kata Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) Pemkab Lebak Rusito saat dihubungi di ibu kota kabupaten di Rangkasbitung, Kamis, 14 Februari 2019.
Masyarakat Baduy di pedalaman Kabupaten Lebak, menolak bantuan dana desa yang dikucurkan pemerintah untuk pembangunan infrastuktur guna menunjang pertumbuhan ekonomi di daerah itu.
Pengalokasian bantuan dana desa tahun 2019 untuk masyarakat Baduy sebesar Rp 2,5 miliar ditolak berdasarkan keputusan adat mereka.
Pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak dengan penolakan warga Baduy untuk menerima bantuan dana desa tersebut.
Pihaknya sangat menghormati dan menghargai keputusan adat warga Baduy.
Saat ini, dana desa itu masuk ke anggaran kas daerah dan tidak bisa dikembalikan ke pemerintah pusat.
Kemungkinan dana desa masyarakat adat Baduy dapat digunakan untuk pengalokasian tahun 2020 bagi desa lain.
"Kami sangat menghargai dan menghormati penolakan masyarakat Baduy itu," kata Rusito.
Ia mengatakan, masyarakat adat Baduy mengkhawatirkan jika menerima dana desa untuk pembangunan infrastuktur tergusur nilai-nilai budaya dan adat mereka hilang.
Sebab, permukiman adat Baduy seperti di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar menolak kehidupan modern, termasuk pembangunan jalan, penerangan listrik dan alat-alat elektronik.
Masyarakat Baduy harus patuh dan taat terhadap adat leluhurnya, sehingga keberatan jika permukiman adat itu mendapat bantuan dana desa.
Pembangunan infrastuktur yang dikhawatirkan masyarakat Baduy ke depan terhubung jalan-jalan batu dan aspal di kawasan permukiman mereka.
Apabila, kondisi jalan itu baik dipastikan masuk kendaraan roda dua hingga roda empat.
Karena itu, masyarakat Baduy menolak untuk menerima bantuan dana desa sebesar Rp 2,5 miliar.
"Saya kira warga Baduy menerima bantuan dana desa cukup besar dibandingkan dengan desa lain, karena masuk kategori desa tertinggal," katanya menjelaskan.
Sementara itu, Saija, pemuka adat juga Kepala Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar mengatakan bantuan dana desa tahun 2019 ini ditolak berdasarkan keputusan adat.
Padahal, sebelumnya masyarakat Baduy menerima bantuan dana desa untuk pembangunan infrastuktur.
"Kami menolak bantuan dana desa karena khawatir hal itu merusak pelestarian adat dan budaya warga di sini," katanya.
Menolak Dijadikan Objek Wisata
Masyarakat Baduy menolak dengan tegas wilayah adatnya dijadikan sebagai objek wisata, pasalnya daerah yang mereka tempati itu merupakan tanah ulayat yang harus dijaga kelestariannya serta dilindungi oleh negara.
Untuk itu, masyarakat Baduy meminta kepada pemerintah agar menghentikan kegiatan masyarakat yang bertujuan ingin berwisata ke desa Baduy, meskipun dengan dalih penamaan wisata budaya.
Hal itu dikatakan Jaro Saidi Saputra, Tanggungan Jaro ke-12 leluhur masyarakat Baduy dalam acara Seba Gede Baduy, di pendopo lama Gubernur Banten, Sabtu malam (22/5/2021).
Jaro Saidi mengatakan, keberadaan masyarakat Baduy tidak ingin dijadikan sebagai objek wisata.
Hal itu dikarenakan, ketika dijadikan objek wisata maka akan ada perubahan-perubahan adat serta lingkungan yang terjadi.
"Sementara itu kami ingin tetap mempertahankan tradisi, budaya serta tanah yang diwariskan dari leluhur kami. Kami ingin tetap seperti ini, hidup dengan aturan yang sudah kami miliki," jelasnya.
Diakui Jaro, pihaknya sejak tahun 2007 lalu sebenarnya sudah melakukan musyawarah dengan aparat desa lainnya.
Hasil dari rapat tersebut, terciptalah sebuah Peraturan Desa (Perdes) nomor 1 tahun 2007 yang mengatur tentang Saba Baduy.
"Namun sayangnya Perdes ini belum tersosialisasikan secara maksimal, sehingga masyarakat yang datang ke Baduy lebih banyak ingin berwisata," ujarnya.
Dalam Perdes itu, lanjut Jaro, masyarakat luar dipersilahkan datang ke Baduy, namun bukan dalam rangka berwisata, tetapi lebih kepada Saba atau dalam kata lain silaturahmi.
"Kalau berwisata kami tidak mau, tetapi kalau mau nyaba, tiga hari sekali juga kami siap. Di rumah warga yang manapun mau menginapnya kami siap," ucapnya.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Dindikbud Banten M. Tabrani menyambut baik permintaan masyarakat Baduy tersebut.
Pihaknya juga sepakat ada perubahan kata wisata budaya Baduy dengan Saba budaya Baduy.
Karena memang masyarakat Baduy bukan menjadi objek yang harus ditonton dan dilihat.
"Saya kira kalau itu baik bisa kita sepakati, mudah-mudahan Kabid Kebudayaan nanti bisa mensosialisasikan, apalagi Perdesnya sudah ada, tinggal disosialisasikan. Nanti kami bantu mensosialisasikan," ujarnya.
Tabrani berharap dengan disosialisasikannya Perdes ini, setiap orang datang ke Baduy mereka tidak menjadikan masyarakat Baduy sebagai tontonan yang dilihat, tetapi mereka bisa melakukan apa yang seharusnya dilakukan bersama masyarakat Baduy di sana.
"Misalnya ketika mereka nyaba, harus menjaga lingkungan, jangan buang sampah sembarangan. Menjaga apa yang diaturkan disana, jangan membuat kotor, memotong tumbuhan dan lain sebagainya," jelasnya.
Hal yang sama juga dikatakan Ketua DPRD Provinsi Banten Andra Soni.
Dalam pernyataannya Andra mengaku sepakat dengan permintaan masyarakat Baduy bahwasannya mereka bukan objek untuk ditonton, mereka juga punya Perdes nomor 1 tahun 2007 yang mestinya kita pelajari dan tindaklanjuti agar kekayaan Banten ini harus tetap dijaga dan dipelihara. (berbagai sumber)