Iptek post authorBob 15 Maret 2024

Sisi Dalam Ramadlan (Seri Sesi Dalam Makna Puasa)

Photo of Sisi Dalam Ramadlan (Seri Sesi Dalam Makna Puasa) S y a r i f, Guru Besar Ilmu Alquran dan Tafsir, Rektor IAIN Pontianak, Ketua PWNU Kalimantan Barat

RAMADLAN selalu dinanti bagi orang yang menyadari maknanya secara mendalam. Rasulullah Saw menyebutkan "sekiranya kalian tahu apa yang ada di dalam ramadlan pasti kalian berharap sepanjang tahun semuanya jadi ramadlan".

Ungkapan Rasulullah Saw ini tidak sekedar ramadlan sebagai bulan puasa. Tetapi ada makna yang dalam dari eksistensi ramadlan.

Puasa saja harus kita ketahui makna dan wujudnya yang menjadi sisi dalamnya dari puasa yang tidak makan, tidak minum, dan tidak bersenggama. Sisi dalam ini harus kita ikhtiarkan untuk dipahami secara baik. Sebab jika tidak, maka peringatan oleh Rasulullah Saw di mana shâim hanya mendapatkan lapar dan haus bisa terjadi pada kita.

Secara epistemologi kita telah banyak disuport oleh teori mengenai sisi dalam ajaran Islam. Dalam kajian studi Islam dikenal bahwa ajaran Islam itu memiliki sisi eksoteris (luar/lahiriaj) dan sisi esoteris (dalam/inti/lubb-albâb). Pada kenyataan eksistensi hidup kita ada wujud jasadiyah/jasmaniyah dan ruhiyah.

Di dalam kitab-kitab ‘ulûlu al-qurân dan ‘ulûmu al-tafsîr dimuat teori bahwa pada setiap teks ayat al-Quran itu memiliki sisi zhahir dan batin – likulli âyatin zhâhirun wa bâthinu. Dalam kajian dan pemahaman ibadah ada kita kenal istilah syariat dan hakikat. “al-syarî’atu bilâ haqîqatin ‘âthilah wa al-haqîqatu bilâ syarî’atin bâthilah – syariat tanpa hakikat sia-sia, dan hakikat tanpa syariat batal. Hakikat ini maksud kinerja hati menuju Tuhannya.

Hakikat ini dalam shalat disebut khusyû’. Khusyû’ artinya irtikázu al-bashari – pemusatan pandangan hati. Dalam hal shalat kita harus tahu ke mana hati dipusatkan yang namanya memusat harus ada satu titik sebagai tujuan pemusatan hati.

Itu sebabnya dalam niat shalat ada ikrar “mustaqbila al-qiblati”. Yang berkiblat harusnya pandangan hati bukan pandangan mata. Itulah khusyu’ dan itulah bentuk hakikat dalam shalat.


Sisi Dalam Puasa
Puasa diungkap dalam Alquran dengan kata "shiyâm atau shaum”. Dalam kitab Munjid dan beberapa kamus bahasa Arab, shiyâm diparalelkan dengan kata “imsâk” yang jika diterjemahkan berarti menahan.

Jika dikonversri dengan fakta harian sebutan imsâk biasanya tertulis sebagai batas boleh makan, minum, senggama, dan lainnya yang waktunya sebelum waktu subuh, disebutlah waktu imsak.

Maka, puasa dalam makna imsâk ini memunculkan definisi “puasa adalah menahan diri untuk tidak makan, minum, bersenggama, dan menahan dari segala sesuatu yang membatalkan puasa.

Jika kite perhatikan peringatan Rasullah Saw “kam min shâimin laisa lahûn min shiyânihî illâ al-jû’i wa al-‘athasi – banyak dari orang yang berpuasa hanya mendapatkan lapar dan haus”, maka sisi dalam dari puasa sebenarnya yaitu bahwa nilai puasa itu tidak terletak pada kemampuan menahan makan dan minum serta tidak bersenggama. Tetapi ada sisi lain yang harus ditahan selain tidak makan dan minum.

Untuk mengintip sisi lain tersebut, yang dalam tulisan ini penulis sebut “sisi dalam”, maka penulis kemukakan pemaknaan yang dapat menerangkan sisi dalam, ialah “puasa adalah mukmin memuaskan hawa-nafsu”. Dalam pemahaman sufistik, hawa-nafsu itu bukan subyek, artinya hawa-nafsu tidak aktif.

Jika hawa-nafsu tidak aktif, maka hawa-nafsu tidak perlu untuk ditahan. Tetapi subyek yang mengaktifkan hawa-nafsu itulah yang harus menahan diri. Siapa subyek itu?

Mukmin menahan diri

Sesungguhnya mukmin itulah kala sedang terjaga menjadi subyek semua perbuatan dan perkataan, apakah itu yang baik maupun yang buruk. Hawa-nafsu adalah penisbatan atas semua perbuatan dan perkataan yang buruk. Artinya mukmin itulah sebagai subyek hawa-nafsu.

Maka makna sesungguhnya “puasa adalah mukmin memuaskan hawa-nafsu”, yaitu artinya “mukmin menahan diri untuk tidak berbuat dan berkata dengan sifat hawa-nafsu”. Maka dengan begitu disebutlah seharusnya mukmin menahan dirinya sendiri.

Pertanyaannya, bisakah mukmin atau diri kita menahan diri untuk tidak berbuat dan berkata dengan sifat hawa nafsu? Jawabnya, tidak bisa. Itu sebabnya dalam surah al-fatihah ada ayat “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’în – akan di Engkau menyembah kami dan akan di Engkau meminta tolong kami”. Jadi kita harus meminta tolong kepada Allah.

Dalam ayat ini ada syarat sebelum meminta tolong, yaitu menyembah Tuhan dahulu baru memohon pertolongan. Itu sebabnya kita diguidance dalam Q.s. al-Baqarah/2:45 “wasta’înû bi al-shabri wa al-shalâti – memohonlah pertolongan dengan sabar dan shalat”.

Mengapa mukmin tidak bisa menolong dirinya sendiri untuk menahan hawa-nafsu? Karena memang ranahnya Allahlah yang bisa memisah hati mukmin dari hawa-nafau. “wa’lamû annallâha yahûlu baina al-mar’i waqalbihî – ketahuilah bahwa Allahlah yang memisah hati dari penyakitnya” (Q.s. al-Anfâl/8:24). Dalam Q.s. al-A’râf/7:43 dikabarkan “wa naza’nâ mâ fî shudûrihim min ghillin... – Kami yang mencabut penyakita hati di dalam dada mereka...).

Jalan Menggapai Pertolongan Allah

Penegasan ini mengharuskan kita untuk mengetahui cara bagaimana supaya Allah menolong kita supaya kita tidak bersahabat dengan hawa-nafsu. Maka hanya shalatlah yang menjadi jalan utama untuk mendapat pertolongan Allah, seperti tuntunan teks ayat di atas.

Terkait dengan puasa ramadlan, sebenarnya puasa tidak bisa dipisah dari shalat tarawih. Karena memang shalat merupakan penentu apakah ibadahnya mukmin dinilai baik atau tidak. Tak terkecuali ibadah puasa di bulan ramadlan. Artinya puasa dalam arti menahan makan-minum-senggama tidak berdiri sendiri.

Jika memohon pertolongan Allah media utamanya shalat, maka kita harus tidak mengentengkan pemahaman kita tentang shalat. Karena dari segi makna sisi dalam wujud shalat dikabarkan bahwa rukun shalat tidak sama dengan shalat, seperti ibarat isi botol isi botol.

Takutnya selama ini kita hanya melaksanakan rukun shalat berupa rukun qauli dan rukun fi’li. Sisi dalam dari shalat itu nanti terletak pada rukun qalbi. Sisi dalam dari shalat ini akan kita kupas dengan bab atau bagian tersendiri.

Jadi, sisi dalam puasa adalah tidak sekedar menahan makan, minum, dan birahi. Tetapi puasa sesungguhnya adalah kemampuan menahan diri dari berperilaku dengan sifat hawa-nafsu.

Dari segi pemahaman sisi dalam puasa ini, sesungguhnya shiyâm itu tidak hanya di bulan ramadlan. Karena menghindari hawa-nafsu dalam perilaku itu harusnya sepanjang tahun.

Misalnya emisi, mudah tersinggung, marah, bangga diri, riya, sombong dan setrusnya, tidak hanya di bulan ramadlan yang tidak boleh diwujudkan, melainkan tentunya sepanjang hari dalam setahun. Sedangkan puasa dalam makna imsâk dari makan-minum-senggama adalah sesungguhnya bentuk riyâdlah menuju shiyâm yang hakiki dalam makna sisi dalam tadi. (*)

 

Keywords

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda