Iptek post authorPatrick Sorongan 24 Juli 2022

Gurita, Aman bagi Bayi: 'Pasca' Sejumlah Merek Popok Diklaim Picu Kanker!

Photo of Gurita, Aman bagi Bayi: 'Pasca' Sejumlah Merek Popok  Diklaim Picu Kanker! Ilustrasi bayi mengenakan popok sekali pakai.(Orami)

KENAPA klaim tentang bahaya kanker akibat bahan kimia dari dua merek popok (diaper) bayi  ternama kembali diributkan?

Padahal, Pampers dan Huggies, dua merek diaper ernama ini, sudah puluhan tahun mendunia, termasuk 'laris manis' di seluruh wilayah Indonesia hingga pelosok-pelosok.

Popok-popok ini juga dihiasi ornamen yang lucu-lucu berupa gambar kartun dan wangi sehingga si bayi pun makin ganteng atau cantik.

Tapi masih soal popok bayi sekali pakai baik yang baru atau bekas pakai, di Zimbabwe, negara yang sedang menuju kebangkrutan, dilansir dari The Africa News, digunakan untuk 'teler  ke surga' oleh banyak pemuda.

Ini karena air hasil rebusannya memabukkan, tanpa perlu ditambah alkohol,  sehingga ngetop di Zimbabwe dengan nama Jus Pampers.

Masalahnya, ketika negara ini dilanda resesi ekonomi, harga alkohol melonjak, sekalipun buatan lokal,  semisal jenis arak.

Adapun hasil penelitian bahaya ini sudah diumumkan beberapa tahun silam di Prancis dan India, tapi kembali dimunculkan kembali.

Masalahnya, otoritas-otoritas terkait diduga kepala barru alias bandel untuk menindalanjuti penelitian itu karena mereka lebih mengutamakan aspek komersial dari bisnis raksasa-raksasa diaper itu.

Hanya saja, dua merek diaper mendunia itu sendiri belum memberikan tanggapan atas  klaim-klaim itu.

Tak heran jika di Indonesia, bisa saja kaum ibu kembali ke 'era opa dna oma': mengunakan celana dalam kain untuk bayi mereka, yang terdiri dari empat tali atau juga disebut gurita.

Ini tentu saja lepas dari pro dan kontra terkait bahaya lecet dan lain-lain dalam pemakaian gurita untuk bayi.

Selain itu, supaya para suami tetap sayang dan senyum-senyum, gurita juga digunakan kaum ibu sebagai korset untuk melangsingkan, perut pasca melahirkan, bahan yang aman dari zat kimia termasuk pengharum dan pewarna.

Karena diproduksi antara dekade 1960-an dan 1970-an, Pampers dan Huggies juga menjadi 'celana dalam kebangsaan' para 'mantan bayi', yang sekarang sudah berusia rata-rata 50 tahun ke atas.

Pun belum ada klaim secara hukum tentang bahaya dari pemakaian kedua popok bayi ini sejak awal digunakan di seluruh dunia.

Benar- tidaknya bahwa  kedua popok bayi sekali pakai ini beracun, namun yang pasti kabar ini kembali menyeruak lewat laporan stasiun televisi Prancis, Euro News, Kamis, 21 Juli 2022, yang dilansir dari hasil penelitian sebuah  agen peneliti di Eropa bernama ANSES.

Menurut Science Direct, popok sekali pakai hanya boleh dibuat dari bahan-bahan yang tidak beracun dan alami.

Ini karena meluasnya penggunaan popok sekali pakai pada bayi yang sehat serta anak-anak yang rentan terhadap alergi dan bayi prematur dengan kekebalan yang berkurang.

Sayangnya, produsen popok sekali pakai enggan untuk menyajikan komposisi kimia yang tepat, mengklaim bahwa rahasia dagang mereka berlaku.

Namun, beberapa laporan menunjukkan bahwa popok sekali pakai dari merek terkenal, merek 'toko' dan merek 'bio', mungkin mengandung sejumlah senyawa beracun.

Ada sangat sedikit penelitian yang berfokus pada komposisi kimia popok bayi sekali pakai. Umumnya, popok mungkin mengandung polutan yang berbeda termasuk polychlorodibenzo-p-dioxins (PCDDs).

Inilah senyawa organik aktif etilen benzena, xilena dan toluena, poliakrilat atau ftalat. Beberapa di antaranya mungkin berisiko bagi kesehatan anak-anak.

Hanya sedikit metodologi yang dilaporkan untuk penentuan beberapa kelompok senyawa yang dapat berdampak negatif pada kondisi kulit bayi.

Prosedur ini terutama didasarkan pada pemisahan kromatografi.

Masalah lain yang terkait dengan popok bayi sekali pakai adalah dampaknya yang sangat besar terhadap lingkungan, mulai dari tahap produksi, penyelesaian prosedur pembuangan.

Dengan demikian, tujuan dari tinjauan ini adalah untuk mempresentasikan masalah yang berhubungan dengan popok bayi sekali pakai dan dampaknya terhadap kesehatan bayi dan lingkungan.

Salah satu isu penting dalam rentang ini adalah keterbatasan pengetahuan di masyarakat dan aspek ini juga dijelaskan.

Topik lain yang dibahas di sini adalah terkait dengan terjadinya senyawa beracun pada popok bayi sekali pakai.

Selain itu, pentingnya analisis dan pemantauan xenobiotik ini diulas dalam artikel.

Sementara itu, ANSES  mengingatkan tentang popok bayi yang mengandung bahan kimia berbahaya yang mengancam kehidupan bayi ketika beranjak dewasa.

ANSES mengklaim, 90 persen bayi di Uni Eropa (UE)  terpapar popok yang sangat beracun. Bahan-bahan kimia yang berbahaya ini juga digunakan untuk jenis produk pembalut wanita.

Kasus ini dilaporkan ditemukan di negara-negara tapi setidaknya, popok dan pembalut berbahan kimia yang sama, juga dijual di Indonesia.

Khusus pasar popok dilaporkan bernilai €7 miliar per tahun, yang didominasi oleh dua merek, Pampers (36 persen) dan Huggies (dua persen).

Euro News melaporkan dari Pari bahwa  1.000 popok dibuat di Eropa setiap meni. ANSES dilaporkan telah menguji merek popok sekali pakai terlaris itu, dan menemukan 38 bahan kimia berbahaya yang sangat parah'  yang dijual di seluruh Eropa.

Sebagian besar bahan kimia ini mengganggu hormon, menurut para pejabat terkait, yang berarti popok-popok ini dianggap tidak aman.

Studi ini memperkirakan bahwa lebih dari 14 juta anak di Eropa dapat menderita 'penyakit yang berpotensi sangat parah'.

Penyakit-penyakit ini juga variatif dan laten dapat mempengaruhi kualitas hidup bayi itu selama hidup mereka.

Penyakit tersebut sudah termasuk kanker, dugaan gangguan endokrin (hormon), bahkan efek reprotoksik (mempengaruhi kesuburan).

Anak-anak sangat rentan terhadap bahan kimia, menurut Organisasi Kesehatan Dunia.

UE akan Larang Penjualannya?

Setelah penelitian pertama kali diterbitkan pada  2019, ANSES menindaklanjutinya tdengan menguji sembilan merek utama.  

Belakangan, ANSES hanya menemukan satu bahan kimia yang masih ada, yakni formaldehida dan karsinogen. 

Ini menunjukkan bahwa pabrik-pabrik pembuat popok tersebut, setidaknya merespons dalam beberapa cara, tetapi kontaminasinya  dapat kembali, sehingga ANSES meminta UE untuk secara ketat membatasi bahan kimia dalam popok. 

Usulan itu ditentang oleh lembaga-lembaga UE, kendati blok itu sendiri berkomitmen  untuk melindungi konsumen. 

Selama pekan ini, UE mengesahkan undang-undang yang terkait, tetapi belakangan UE melewatkan tenggat waktu hukum yang nota bene diberlakukannya sendiri. 

“Setiap hari, orang tua berisiko mengekspos bayi mereka yang baru lahir ke bahan kimia beracun,  hanya dengan mengganti popok mereka," kata Maria Arena, Anggota Komite Parlemen Eropa. 

Di Parlemen Eropa, Arena  bertugas di bidang lingkungan, kesehatan masyarakat, keamanan pangan, dan juru kampanye masalah kimia. 

"Seharusnya tidak tergantung pada orang tua untuk mengetahui apakah popok yang mereka gunakan beracun atau tidak,”  lanjut Arena. 

"Uni Eropa harus  melarang zat-zat itu dalam popok,  dan memastikan lingkungan bebas racun untuk semua," sarannya. 

Badan Kimia Eropa mengakui tentang potensi risiko tersebut lewat pernyataan bahwa  bahan kimia tidak boleh ada. 

Hanya saja,  para peneliti Prancis diklaim gagal untuk menunjukkan tentag risikonya terhadap  anak-anak secara benar. 

Namun, posisi itu cacat, menurut kalangan LSM.  Pada Rabu, 20 Juli 2022, Komisi Eropa melewatkan tenggat waktu hukum untuk menanggapi proposal Prancis. 

Kecorobohan ini telah menunda upaya perlindungan konsumen selama berbulan-bulan,  atau bertahun-tahun. 

Sebanyak 21 LSM, seperti Plastic Soup Foundation dan Client Earth, telah menulis surat kepada Komisi Eropa.

Mereka menyatakan, konsekuensi kesehatan bagi anak-anak tidak dapat diubah. Komisi juga diminta harus  melarang bahan kimia tersebut.

Menstruasi dan produk kebersihan lainnya dibuat dengan bahan yang sama, dan juga menimbulkan bahaya. 

Hasil Penelitian yang Sama di India

Pada 2020, tapi tanpa merinci merek popok batis ekali pakai, hasil penelitian yang sama juga sudah dilakukan di India, sebagaimana dilansir Time Soft India, 29 September 2020.  

Dilaporkan bahwa sebuah studi yang dirilis oleh organisasi advokasi yang berbasis di New Delhi, Ibukota India,  menemukan keberadaan ftalat beracun dalam popok bayi sekali pakai yang tersedia di pasar India.  

Phthalates adalah bahan kimia pengganggu endokrin,  yang diketahui menyebabkan dampak kesehatan yang serius.  

Studi oleh Toxics Link bertajuk What's in the Diaper: Presence of Phthalates in Baby Diapers (Apa yang Ada di Popok: Kehadiran Phthalates di Popok Bayi), telah menemukan ftalat mulai dari 2,36ppm hingga 302,25ppm dalam produk ini. 

Dikumpulkan dari pasar lokal dan situs e-commerce, 20 sampel dari 19 merek untuk penelitian ini dianalisis di laboratorium terakreditasi. 

Masih dari Time Soft India, studi ini harus ditanggapi serius,  dan otoritas kesehatan harus menyelidiki lebih lanjut.   

Jika penyelidikan tersebut benar-benar bisa dikonfirmasi, maka tindakan yang tepat harus segera diambil. Kesehatan anak tidak bisa diremehkan. 

"DEHP, ftalat paling beracun, dibatasi atau dilarang di beberapa produk anak-anak,  tetapi ditemukan antara 2,36ppm dan 264,94ppm dalam sampel yang diuji," kata Alka Dubey, Koordinator Program di Toxics Link.

Satish Sinha, associate director-nya, mengatakan: “Phthalates secara non-kovalen terikat pada polimer yang digunakan dalam popok dan mudah dilepaskan dari produk."

"Karena popok bersentuhan langsung dengan alat kelamin luar bayi dan balita selama beberapa bulan hingga tahun, ada kemungkinan ftalat memasuki tubuh mereka melalui penyerapan kulit," tambahnya.

Menurutnya, hal ini dapat menyebabkan dampak kesehatan yang merugikan pada anak-anak. Sebab, phthalates mengganggu sistem endokrin, dan dapat memicu  berbagai penyakit seperti diabetes, hipertensi, obesitas dan gangguan reproduksi.

“Studi ilmiah mengkonfirmasi penyerapan ftalat dari popok. Selain itu, bahan kimia tersebut dapat larut dalam aliran limbah kota,  dan menimbulkan tantangan serius bagi lingkungan," kata Shinha.

Pemerintah India didesak untuk mengambil langkah-langkah sesegera mungkin untuk menghapus ftalat dari popok.

Studi tersebut mengklaim, pemerintah perlu membuat langkah-langkah ketat untuk pengemasan dan pelabelan produk.

Hal ini  karena sampel yang diuji tidak menyebutkan bahan dan bahan kimia pada paket.  Ini adalah studi pertama di India walaupun pemerintahnya sudah  menetapkan standar untuk lima ftalat umum — DEHP, DBP, BBP, DIDP, DNOP, dan DINP — dalam berbagai produk anak.

"Namun, tidak ada peraturan seperti itu untuk popok bayi di negara kita,” kata Piyush Mohapatra, Koordinator Senior untuk Program Toxics Link.

Memang, popok sekali pakai adalah produk yang akrab bagi sebagian besar keluarga. Bayi baru lahir dan balita di seluruh UE misalnya, menggunakan beberapa popok sekali pakai setiap hari. 

Bahkan untuk jangka waktu yang lama, popok sering dipakai di mana saja antara beberapa bulan pertama hingga tahun kehidupan. Padahal, ini adalah tahap yang sangat rentan dari perkembangan awal kehidupan anak-anak.

Sayangnya, menurut laporan Health and Enviroment Alliance, edisi Desember 2021, popok sekali pakai dapat mengandung berbagai bahan kimia yang dapat membahayakan kesehatan manusia.

Melalui pembatasan yang diusulkan pada keberadaan bahan kimia tersebut, UE sebenarnya memiliki kesempatan untuk secara signifikan meningkatkan kesehatan anak-anak di seluruh benua.

Namun, upaya pembatasan ini mungkin tidak akan pernah terlihat dan ironis. Masalahnya, berdasarkan perkiraan, 14,5 juta anak saat ini terpapar bahan kimia melalui penggunaan popok sekali pakai.

Pada Oktober 2020, otoritas nasional Prancis melakukan tes pada popok sekali pakai, dan hasilnya menunjukkan adanya beberapa kelompok bahan kimia yang menjadi perhatian, termasuk pyrene (PAH), polychlorinated biphenyls (PCB), dioksin dan furan, wewangian, pestisida, dan bahan organik yang mudah menguap. senyawa (VOC).

Paparan jangka panjang terhadap bahan kimia berbahaya yang diketahui,dapat dikaitkan dengan berbagai gangguan kesehatan, termasuk masalah hati, imunologi, neurologis, metabolisme dan endokrin.

Berdasarkan hasil ini, Prancis mengusulkan pembatasan di seluruh UE terhadap empat (kelompok) bahan kimia berbahaya yang telah ditemukan dalam popok,  meskipun tidak sengaja ditambahkan selama proses produksi: formaldehida, PAH, dioksin, furan, dan PCB.

Sejalan dengan proses di UE untuk pengembangan pembatasan bahan kimia di bawah REACH, wacana tersebut didiskusikan dengan negara anggota lainnya, dan otoritas Eropa terkait di European Chemicals Agency.

Wacana itu, pertama, disampaikan di Committee for Risk Assessment (RAC), kemudian di Socio-Economic Komite Penilai (SEAC).  

Setelah beberapa putaran diskusi, kedua komite telah mengeluarkan pendapat yang tidak mendukung usulan pembatasan seperti yang awalnya dibuat oleh Prancis, sebuah langkah yang mengkhawatirkan.

Masyarakat Sipil Prihatin dengan Opini RAC

Pada September 2021, Komite Penilaian Risiko (RAC) Badan Kimia UE, menyimpulkan bahwa 'data ilmiah dan penilaian risiko yang tersedia, tidak menunjukkan bahwa zat yang termasuk dalam proposal ada dalam popok pada tingkat yang menimbulkan risiko'. 

Secara bersamaan, komite mengakui bahwa juga tidak mungkin untuk sepenuhnya mengesampingkan risiko yang timbul dari paparan beberapa zat. Juga ditekankan, zat-zat berbahaya ini  harus 'dipertahankan pada tingkat serendah mungkin dalam popok'. 

Namun, terlepas dari pernyataan polarisasi ini, pendapat akhir dari komite tersebut, sama sekali tidak mendukung pembatasan itu untuk bergerak maju, yang kemudian disambut dengan keprihatinan oleh kelompok masyarakat sipil. 

Sebelumnya, Biro Lingkungan Eropa (EEB), ClientEarth, dan HEAL telah mengirimkan komentar terperinci. Komentar  ini menyoroti aspek-aspek penting dalam mendukung pendekatan kehati-hatian untuk membatasi bahan kimia berbahaya dalam popok sekali pakai.  

Health and Enviroment Alliance menilai, komentar tersebut tidak sepenuhnya dipertimbangkan oleh RAC.  

Elemen-elemen kunci yang seharusnya menjadi pedoman pengembangan restriksi, meliputi kerentanan khusus anak-anak yang terpapar zat yang dimainkan,  dan tujuan terkait untuk mencegah paparan apa pun. 

Berikutnya, perlunya pendekatan yang komprehensif dan protektif terhadap penilaian bahaya bahan kimia yang bersangkutan. 

Hal ini dengan mempertimbangkan semua zat yang ada dalam popok, dan harus diakui bahwa beberapa di antaranya adalah zat non-ambang (artinya tidak ada tingkat paparan yang aman), dan pemakaian popok menyebabkan paparan campuran bahan kimia berbahaya. 

Health and Enviroment Alliance menambahkan tentang keterwakilan data yang disediakan oleh Prancis terkait dengan pasar UE lainnya untuk popok sekali pakai.

Bertentangan dengan pendapat SEAC, Health and Enviroment Alliance  melaporkan bahwa kelompok kesehatan dan lingkungan di seluruh Eropa, bersikeras bahwa ada ketidakpastian yang tersisa dalam proposal pembatasan itu.

Hal tersebut karena adanya penambahan zat yang tidak disengaja,  dan kurangnya ketersediaan metode analisis standar.

Mencegah paparan bagi anak-anak dari bahan kimia berbahaya melalui produk seperti popok sekali pakai,  sepenuhnya membenarkan pengembangan pembatasan ini.

Di bawah Strategi Bahan Kimia Eropa untuk Keberlanjutan, Komisi Eropa telah berkomitmen untuk melindungi kelompok rentan, seperti bayi dan anak kecil dari zat berbahaya.  

Karena itu, gagasan terkait pembatasan ini,  merupakan tes kredibilitas yang penting.  "Dan, kami mendesak Komisi untuk melanjutkan untuk melarang zat-zat di bawah lingkup proposal dari popok sekali pakai sesegera mungkin," tegas Health and Enviroment Alliance dalam pernyataannya.

Memang, Sulit membayangkan hidup tanpa popok sekali pakai. Setelah tersedia secara luas di akhir 1960-an dan awal 1970-an, popok sekali pakai sekarang ini menjadi 'norma' di sebagian besar dunia.

Pemakaian ini, tenu saja, untuk alasan yang baik. Apalagi, tidak dapat disangkal  bahwa popok sekali pakai adalah kenyamanan utama bagi banyak orang tua dalam mengurus buah hatinya.

Toh hanya sedikit yang bertanya-tanya terbuat dari apa. Tapi itu pertanyaan yang masuk akal untuk produk yang menghabiskan begitu banyak waktu untuk kontak langsung dengan area paling sensitif anak Anda.

Popok sekali paka  tampak sederhana, memiliki lebih banyak bahan dan bagian daripada yang Anda kira.

Bahaya-Tidaknya, Simak Komentar Dokter Anak

Dilansir dari situs Baby Center, perusahaan popok tidak diharuskan untuk mencantumkan apa yang ada di produk mereka pada kemasannya.

Bahkan, sebagian besar produk sekali pakai modern mengikuti model dasar yang sama. Lapisan luar biasanya terbuat dari film polietilen, yang pada dasarnya merupakan bahan yang sama di bungkus plastik.

Beberapa popok menggunakan bioplastik sebagai gantinyaa: terbuat dari sumber daya terbarukan,  seperti minyak sayur, bukan minyak bumi.

Lapisan dalam yang menyentuh kulit bayi biasanya terbuat dari polipropilen, bahan umum yang antara lain juga ditemukan di pakaian dalam termal.

Kedua bahan tersebut dianggap benar-benar aman untuk kulit muda. Beberapa merek meningkatkan lapisan dalam dengan menambahkan lidah buaya dan vitamin E, senyawa ramah kulit yang sering ditemukan dalam krim ruam pop.

Pusat penyerap popok sekali pakai mengandung bubur kayu (biasanya diputihkan dengan klorin) dan polimer sebagai super penyerap, biasanya natrium poliakrilat, senyawa yang dapat menyerap hingga 30 kali beratnya dalam urin.  

Ketika diperkenalkan pada awal dekade 1980-an, popok menjadi lebih tipis,  dan lebih efektif menjaga bayi tetap kering.  

Sodium polyacrylate seharusnya tetap berada di inti popok. Tapi terkadang bocor melalui lapisan, meninggalkan kristal transparan kecil di kulit bayi. 

Karakter kartun dan gambar lain di luar popok,  banyak yang dibuat dengan pewarna,  seperti untuk merek Disperse Blue 106, Disperse Blue 124, Disperse Yellow 3, dan Disperse Orange 3.

Pewarna juga dapat digunakan di bagian belakang elastis, indikator kebasahan, dan di sekitar kaki.

Popok beraroma mengandung sedikit parfum di antara inti penyerap dan lapisan luar.

Parfum biasanya mengandung citral, yakni senyawa beraroma jeruk, yang sering ditemukan dalam minyak lemon dan jeruk.

Untuk menghindari bahan-bahan ini, silakan mencari popok yang bebas pewarna, bebas parfum, bebas klorin, dan sebagainya. Semuanya sudah tersedia di pasaran, tapi disarankan untuk melihat detail di kemasannya.

Adapun bahan kimia dalam popok sekali pakai adalah natrium poliakrilat. Baby Center pun melansir berbagai lembar data keamanan bahan,  dokumen yang dibuat oleh Administrasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja AS. 

Dokumen ini  mencantumkan tentang potensi bahaya bahan kimia dengan sangat rinci.  Natrium poliakrilat dalam popok adalah bahan yang ringan.

Menghirup partikel kecil mungkin mengiritasi saluran udara, tetapi dianggap tidak beracun.

Sodium polyacrylate sendiri tidak mengiritasi kulit. Dan karena itu adalah polimer, maka bahan kimia ini saling menempel dalam rantai panjang, yang terlalu besar untuk diserap melalui kulit.

Namun, natrium poliakrilat terkadang bercampur dengan sejumlah kecil asam akrilat, sisa dari proses pembuatan.

Secara teori, asam akrilat dalam dosis besar bisa berbahaya bagi kulit bayi.  

Tetapi, menurut laporan pada 2009 di Journal of Toxicology and Environmental Health, hampir tidak ada cukup asam akrilik dalam popok sekali pakai untuk menimbulkan kekhawatiran. (Studi ini didanai oleh Procter & Gamble, produsen besar popok.) 

Orang-orang yang memperingatkan bahaya popok sekali pakai,  sering mengatakan bahwa natrium poliakrilat dapat menyebabkan reaksi alergi pada kulit.  

Untungnya, reaksi seperti itu tampaknya sangat jarang terjadi. Sebuah laporan pada  2008 dalam jurnal Clinics in Dermatology mengutip bahwa  hanya satu kasus kemungkinan reaksi alergi terhadap natrium poliakrilat,  

Alergi itu terjadi di kalangan orang dewasa yang menggunakan bantalan inkontinensia. Para penulis mencatat bahwa sangat sedikit bayi yang memiliki reaksi alergi terhadap apa pun di popok mereka. 

Pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, ratusan wanita yang menggunakan tampon penyerap super yang mengandung natrium poliakrilat,  mengembangkan sindrom syok toksik.  Inilah penyakit yang berpotensi fatal akibat infeksi bakteri.

Ketika natrium poliakrilat pertama kali muncul di popok, beberapa orang khawatir bayi juga bisa terkena sindrom syok toksik.  

Namun,  menurut Baby Center, ketakutan itu ternyata tidak berdasar. Popok yang dikenakan di bagian luar tubuh,  jauh berbeda dari tampon, dan tidak ada kasus popok yang menyebabkan sindrom syok toksik yang pernah dilaporkan. 

Adapun pewarna yang digunakan dalam popok umumnya aman.  Namun dalam kasus yang jarang terjadi, beberapa di antaranya memicu reaksi alergi pada bayi. 

Beberapa bayi sensitif terhadap citral dan parfum lain dalam popok, meskipun reaksi alergi yang sebenarnya, tampaknya jarang terjadi.  

Menurut laporan pada 2009 dalam Journal of Toxicology and Environmental Health, jumlah citral dalam popok beraroma khas harus sekitar satu juta kali terlalu rendah untuk menyebabkan masalah.

Sedangkan dioksin, bubur kayu dalam popok,  memberinya sedikit bantalan ekstra,  dan daya serap, tetapi juga dapat memperkenalkan bahan kimia lain yang berpotensi mengkhawatirkan, yakni dioksin.  

Keluarga bahan kimia ini, yang dibuat saat bubur kayu diputihkan dengan klorin, diketahui menyebabkan kanker pada manusia. Kebanyakan popok sekali pakai membawa sejumlah kecil dioksin.  

Sejumlah kalangan khawatir bahwa dioksin yang ditemukan dalam popok sekali pakai yang telah dibuang,  akan mencemari air tanah di dekat tempat pembuangan sampah.  Orang tua, tentu saja, memiliki kekhawatiran tambahan. 

Namun, tampaknya tidak ada cukup dioksin dalam popok untuk mengancam kesehatan bayi.

Faktanya, sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Environmental Health Perspectives pada  2002 memperkirakan bahwa anak-anak mendapatkan ribuan bahkan jutaan kali lebih banyak dioksin dalam makanan mereka daripada yang mereka dapatkan dari popok mereka.

Dioksin sendiri, ada di mana-mana di lingkungan, dan berakhir di semua yang dimakan manusia, terutama lemak hewani.

Studi ini juga menemukan bahwa jenis dioksin yang paling berbahaya – bentuk yang paling mungkin menyebabkan kanker dan penyakit lainnya – tidak muncul di popok sama sekali. Bukan

karena Kimia tapi Alergi

Secara umum,  masih dari Baby Center, dokter anak dan ahli lainnya menyatakan, popok sekali pakai melakukan apa yang seharusnya  dilakukan: melindungi kulit bayi tanpa banyak kekacauan, kerumitan, atau alasan untuk khawatir. 

"Kami melihat ruam popok jauh lebih sedikit daripada sebelumnya," kata Ilona Frieden, Direktur Dermatologi Pediatrik di Rumah Sakit Anak UC San Francisco, AS. 

Karena popok sekali pakai modern menyerap kelembapan dalam jumlah besar (bahan utama dalam sebagian besar ruam popok), maka  wabah ruam popok cenderung kurang umum,  dan tidak terlalu parah. 

Frieden mengaku sangat jarang melihat kasus di mana popok itu sendiri tampaknya menyebabkan masalah.  

"Ruam (karena) popok paling sering disebabkan oleh infeksi jamur, dan iritasi pada area tersebut akibat diare atau tinja cair yang tidak biasa," ujarnya. 

"Jika popok tertentu tampaknya menyebabkan masalah bagi anak Anda, cobalah mengganti merek," kata Frieden, yang juga dokter kulit anak. 

"Anda juga dapat mencoba beralih ke popok kain, yang kurang menyerap,  tetapi bebas pewarna dan banyak bahan kimia yang ditemukan dalam popok sekali pakai," tambahnya.

Untuk mengobati ruam popok ringan, Frieden merekomendasikan pendekatan standar: Gantilah popok anak sesering mungkin.

Juga disarankan agar pastikan kulitnya kering sebelum menggunakan krim atau salep pelindung kulit,  dan memakai popok baru.***

 

Reporter, Penulis & Editor: Patrick Sorongan

Sumber: Euro News, Science Direct, Timesoft India, Health and Enviroment Alliance,  Baby Center

     

 

 

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda