JANGAN meremehkan semut, menurut sejumlah ilmuwan. Puluhan juta tahun mendatang, tak mustahil generasinya bakal menggantikan peran manusia di bumi.
Bentuk semut akan berbeda dengan nenek moyangnya sekarang ini. Dalam soal kecerdasan, semut generasi mendatang, bisa saja seperti mamusia.
Hal ini terlihat dari struktur tubuh dan kepintaran semut dalam membentuk koloni, bekerjasama, dan menjalin komunikasi antarsesama semut.
Puluhan juta tahun silam, paus hanya mahluk-mahluk kecil yang berlarian panik di bawah kaki para dinosaurus.
Tapi, puluhan juta tahun kemudian, tubuh paus telah berevolusi menjadi raksasa, ketika dinosaurus telah punah.
Begitu pula dengan sejumlah spesies hewan lain, sekalipun ukurannya masih kalah dengan paus.
Tapi, evolusi hewan-hewan ini, apa pun bentuknya, tetap saja masih kalah dengan manusia sebagai penguasa sekaligus mahluk cerdas yang juga ]dominan di bumi ini.
Hanya saja, sebagaimana dilansir dari The Conversation, 26 Januari 2016, kalangan ilmuwan memperkirakan bahwa sekitar 50 juta tahun mendatang, manusia akan punah.
Kepunahan ini akan terjadi sebelum matahari mengembang menjadi raksasa merah, kemudian meledak dan memusnahkan semua mahluk hidup.
Pertanyaannya sekarang, di masa depan pasca-apokaliptik, apa yang mungkin terjadi pada kehidupan jika manusia meninggalkan dunia?
Disebut akan duluan punah, ini tak lain karena kecenderungan-kecenderungan manusia sendiri dalam mengeksploitasi alam.
Kemunculan beragam virus termasuk Covid-19 adalah jawaban dari kerakusan manusia mengeksploitasi alam sehingga alam pun marah.
Jadi, jika kita diberi kesempatan untuk mengintip ke masa depan di bumi sekitar 50 juta tahun setelah hilangnya kita, apa yang akan kita temukan?
Hewan atau kelompok hewan mana yang akan 'mengambil alih' sebagai spesies dominan?
Akankah manusia bumi digantikan oleh kera seperti dalam film fiksi Planet of the Apes (Planet Kera)?
Dalam film Hollywood ini, astronot yang kembali ke bumi telah terjebak dalam perjalanan waktu, kemudian mendarat di bumi masa depan.
Ketika mendarat, peran manusia di bumi telah digantikan kera-keras cerdas, dan manusia diburu oleh primata-primata ini.
Lantas, ketika manusia punah, apakah bumi akan didominasi oleh lumba-lumba, tikus, beruang air, kecoak, babi, atau semut?
Pertanyaan tersebut telah mengilhami banyak spekulasi populer, dan banyak penulis telah menawarkan daftar calon spesies.
Untuk alasan praktis ketimbang filosofis: dunia sekarang ini telah didominasi oleh bakteri, meskipun akhir nominal usia mikroba sekitar 1,2 miliar tahun yang lalu.
Ini bukan karena bakteri berhenti, atau menurun dalam prevalensi, melainkan karena miopia manusia. Ini juga karena manusia cenderung lebih mementingkan organisme multi-seluler besar yang muncul setelahnya.
Ada tingkat narsisme yang tak terbantahkan terkait penunjukan manusia sebagai spesies dominan dan kecenderungan kuat untuk memberikan gelar kepada kerabat dekat, yakni kera.
Dalam film Planet of the Apes, kerabat primata terdekat manusia mampu mengembangkan kemampuan berbicara dan mengadopsi teknologi manusia.
Kendati begitu, jika kita jika kita memberi kera waktu dan ruang untuk melakukannya, primata non-manusia tidak mungkin mewarisi dominasi manusia di bumi.
Ini karena kera cenderung mendahului manusia menuju kepunahan. Manusia sudah menjadi satu-satunya hominid hidup, yang status konservasinya tidak terancam punah.
Faktanya, setiap peristiwa kepunahan yang mempengaruhi manusia mungkin akan menjadi yang paling berbahaya bagi organisme yang memiliki kebutuhan fisiologis dasar yang sama dengan manusia.
Bahkan, jika manusia menyerah pada pandemi global yang mempengaruhi relatif sedikit mamalia lain, kera besar justru spesies yang paling berisiko tertular penyakit baru sebelum memusnahkan manusia dari bumi.
Terkait akankah primata, mamalia, atau mahluk lainnya mengembangkan kecerdasan dan masyarakat seperti manusia, Itu juga tampaknya tidak mungkin.
Dari semua spesies yang bisa dibilang hewan dominan pada tahap tertentu dalam sejarah bumi, hanya manusia yang memiliki kecerdasan, dan ketangkasan manual yang luar biasa.
Karena itu, sifat-sifat seperti itu bukanlah persyaratan untuk menjadi dominan di antara hewan, atau sifat-sifat yang sangat mungkin untuk berevolusi.
Evolusi tidak mendukung kecerdasan untuk kepentingannya sendiri.
Tetapi, itu bisa terjadi jika mengarah pada kelangsungan hidup, dan keberhasilan reproduksi yang lebih tinggi.
Akibatnya adalah kesalahan besar untuk membayangkan bahwa penerus manusia cenderung menjadi makhluk yang sangat cerdas atau sosial, atau bahwa mereka akan mampu berbicara, atau mahir dengan teknologi manusia.
Jadi, apa yang bisa kita spekulasikan dengan aman tentang spesies dominan, sekitar 50 juta tahun setelah umat manusia punah?
Jawabannya, tidak memuaskan sekaligus mendebarkan: sementara kita cukup yakin bahwa itu bukan simpanse yang bisa berbicara, kita tidak tahu seperti apa bentuknya.
Dunia telah menyaksikan sejumlah peristiwa kepunahan massal dalam perjalanan sejarahnya.
Diversifikasi kehidupan setelah setiap peristiwa, bersifat relatif cepat dan 'radiasi adaptif'. Spesies baru menghasilkan bentuk-bentuk baru, termasuk banyak yang tidak seperti garis keturunan leluhur yang melahirkan mereka setelah selamat dari kepunahan sebelumnya.
Makhluk kecil mirip celurut yang berlarian di bawah kaki dinosaurus pada akhir periode Cretaceous, tampak sangat berbeda dengan beruang gua, mastodon, dan paus yang diturunkan dari mereka selama zaman mamalia.
Demikian juga, reptil yang selamat dari kepunahan Permian akhir sekitar 250 juta tahun yang lalu, yang membunuh 90 persen spesies laut, dan 70 persen spesies darat.
Dalam Burgess Shale and the Nature of History, mendiang Stephen J Gould berpendapat bahwa kebetulan, atau kontingensi, sebagaimana dia menyebutnya, memainkan peran besar selama transisi utama kehidupan hewan.
Ada ruang untuk berdebat tentang kepentingan relatif dari kontingensi dalam sejarah kehidupan, yang tetap menjadi topik kontroversial saat ini.
Namun, wawasan Gould bahwa manusia hampir tidak dapat membayangkan keberhasilan garis keturunan modern di luar kepunahan di masa depan, adalah pengingat yang merendahkan kompleksitas transisi evolusioner.
Jadi, meskipun mungkin saja, seperti yang banyak berspekulasi, semut akan mengambil alih bumi dari manusia, maka kita hanya bisa membayangkan seperti apa keturunan semut dominan mereka nantinya.***
Sumber: The Conversation, berbagai sumber