WORLD Health Organization (WHO) mendefinisikan stunting sebagai sebuah gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan anak yang diakibatkan oleh kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang.
Anak yang mengalami stunting ditandai dengan tinggi badan yang berada di bawah standar, yaitu panjang atau tinggi badan menurut usia yang kurang dari -2 standar deviasi (SD) pada kurva pertumbuhan WHO.
Apabila kita Tarik lurus dalam UUD 1945, pemerintah Republik Indonesia menempatkan pengelolaan stunting pada pasal 34 ayat 1 yakni amanat kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Untuk menjembatani pengelolaan stunting tersebut, muncul Peraturan Presiden yang mengatur perihal stunting, yakni Perpres Nomor 72 tahun 2021 Tentang Percepatan Penurunan Stunting.
Dalam Perpres tersebut, pengertian stunting dijabarkan dengan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Stunting dapat terjadi sejak anak masih berada dalam kandungan dan akan terlihat jelas ketika anak mencapai usia dua tahun.
Anak yang mengalami stunting ditandai oleh tinggi badan dan berat badan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak seusianya. Anak yang mengalami stunting juga tampak lebih kecil dari usia seharusnya meskipun memiliki proporsi tubuh yang normal.
Stunting menjadi salah satu faktor penghalang pertumbuhan manusia yang signifikan, karena dapat menghambat perkembangan kognitif dan motorik.
Stunting dapat menyebabkan gangguan konsentrasi yang dapat menurunkan kemampuan memori belajar anak.
Anak balita yang mengalami stunting berpotensi memiliki tingkat kecerdasan yang kurang maksimal. Selain itu, anak juga akan lebih rentan terinfeksi penyakit.
Anak yang mengalami stunting memiliki kemungkinan lebih besar tumbuh menjadi individu dewasa yang tidak sehat dan miskin.
Kasus stunting pada anak dapat dijadikan prediktor rendahnya kualitas sumber daya manusia suatu negara. Keadaan stunting menyebabkan buruknya kemampuan kognitif, rendahnya produktivitas, serta meningkatnya risiko penyakit mengakibatkan kerugian jangka panjang bagi ekonomi Indonesia (Trihono dkk., 2015).
Pada tahun 2020, lebih dari 149 juta atau 22 persen dari balita di seluruh dunia mengalami stunting dan 6,3 juta di antaranya berasal dari Indonesia.
Prevalensi stunting di Indonesia memiliki tren penurunan sejak tahun 2013. Berdasar hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2022 sebesar 21,6 persen atau 2,8 persen lebih rendah dari tahun sebelumnya (24,4 persen pada tahun 2021). Meskipun angka prevalensi tersebut mengalami tren penurunan, angka tersebut masih lebih tinggi dari target yang ditetapkan oleh WHO sebesar 20 persen.
Pemerintah Indonesia menargetkan angka prevalensi stunting 14 persen pada tahun 2024 yang dimaksudkan bahwa angka stunting menurun minimal 3,8 persen setiap tahunnya sejak tahun 2022.
Pemerintah memiliki Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting yang diharapkan menjadi acuan seluruh pemangku kepentingan dalam mendukung komitmen pimpinan nasional di pusat maupun daerah untuk mewujudkan terget berkenaan.
Strategi Nasional terdiri 5 pilar berdasarkan amanat Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting dengan sasaran kelompok prioritas yang mencakup ibu hamil, ibu menyusui, dan anak berusia 0-23 bulan, atau disebut rumah tangga 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Pemerintah memprioritaskan penanggulangan stunting pada 12 provinsi yang menjadi kantong penyumbang angka prevalensi stunting tinggi. Provinsi Kalimantan Barat menjadi salah satu dari 12 provinsi yang menjadi prioritas percepatan penanganan stunting nasional.
Berdasarkan data SSGI pada tahun 2022, angka prevalensi stunting Provinsi Kalimantan Barat sebesar 27,8 persen atau berada di urutan 8 angka prevalensi stunting tertinggi di Indonesia (di atas target prevalensi stunting yang ditetapkan untuk Provinsi Kalimantan Barat sebesar 17 persen).
Penanganan stunting pada Provinsi Kalimantan Barat memerlukan sinergi dan koordinasi dari berbagai sektor, yakni pemerintah, swasta, maupun masyarakat untuk mencapai target prevalensi stunting yang ditetapkan yaitu 14 persen pada tahun 2024.
Komitmen dan visi kepemimpinan di kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan pemerintahan desa sangat diperlukan untuk mencapai target prevalensi yang ditetapkan.
Stunting pada anak disebabkan oleh beberapa faktor. Berdasarkan publikasi WHO dan jurnal akademis, factor-faktor penyebab stunting antara lain:
- Praktik pemberian makan bayi dan anak-anak yang kurang optimal, seperti pemberian air susu ibu (ASI) secara non-eksklusif dan pemberian makanan tambahan yang terbatas dari sisi kuantitas, kualitas, dan keragaman;
- Penyakit infeksius yang memiliki konsekuensi jangka panjang pada pertumbuhan;
- Infeksi akibat paparan lingkungan yang tercemar, kebiasaan hidup yang tidak bersih, menyebabkan malabsorbsi nutrisi dan berkurangnya usus menangkal organisme penyebab penyakit;
- Kemiskinan rumah tangga, pola asuh yang tidak memperhatikan Kesehatan anak (caregiver neglect), pola pemberian makan bayi dan anak yang tidak bertanggung jawab, kurangnya stimulasi anak, dan kurangnya ketersediaan makanan;
- Paparan efek rokok terhadap bayi dan anak-anak;
- Konsumsi sumber air tercemar yang menyebabkan paparan terhadap bakteri dan enterotoxin yang mengganggu saluran pencernaan;
- Perkawinan dini, usia dini belum siap secara fisik dan mental untuk memiliki keturunan.
Menurut BKKBN Provinsi Kalimantan Barat, kegiatan-kegiatan dilaksanakan oleh BKKBN Kalbar dalam upaya mendorong percepatan penurunan stunting yang secara umum dapat dibagi menjadi empat kategori utama, yakni kategori infrastruktur, kategori sumber daya manusia (SDM), kategori penyuluhan dan perubahan perilaku, serta kategori sistem informasi dan data.
Sejak tahun 2022, Pemerintah Kabupaten lingkup Provinsi Kalimantan Barat telah melaksanakan 8 Aksi Konvergensi Stunting sebagaimana Keputusan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor KEP.10/M.PPN/HK/02/2021 tentang Penetapan Perluasan Lokasi Fokus Intervensi Penurunan Stunting Terintegrasi Tahun 2022.
Konvergensi percepatan pencegahan stunting adalah intervensi yang dilakukan secara terkoordinir, terpadu, dan mensasar kelompok sasaran prioritas yang tinggal di desa untuk mencegah stunting. Intervensi penurunan stunting terintegrasi dilaksanakan melalui 8 (delapan) aksi, yaitu:
- Analisis Situasi Program Penurunan Stunting
- Penyusunan Rencana Kegiatan
- Rembuk Stunting
- Peraturan Bupati/Walikota tentang Peran Desa
- Pembinaan Kader Pembangunan Manusia
- Sistem Manajemen Data Stunting
- Pengukuran dan Publikasi Data Stunting
- Reviu Kinerja Tahunan
Kendala dalam pelaksanaan stunting dilingkup Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat ini, antara lain :
- Aksi 6 dalam 8 aksi Konvergensi Stunting terkat manajemen data stunting menunjukkan bahwa tidak ada kebutuhan data yang tidak tersedia hanya saja perlu perbaikan kualitas data dan pemahaman definisi operasional indikator serta memperhatikan batas waktu penyampaian data;
- Koordinasi dan partisipasi lintas OPD perlu ditingkatkan;
- Komitmen dalam pelaksanaan rencana tindak lanjut yang telah disepakati dalam forum koordinasi;
- Pelaksanaan rembuk stunting tingkat desa dan tingkat kecamatan perlu dioptimalkan;
- Penganggaran yang belum maksimal pada Program Kegiatan yang sesuai dengan tagging sub kegiatan stunting;
- Keterbatasan akses sumber daya, kurangnya Pendidikan Kesehatan Masyarakat, dan kurangnya akses ke fasilitas Kesehatan;
- Belanja kegiatan belum memperhatikan data terkini seperti Keluarga Berisiko Stunting, Prevalensi Stunting, 29 Data Cakupan Essensial dan 35 Data Supply.
Terdapat lima daerah yang mengalami peningkatan prevalensi stunting di Provinsi Kalimantan Barat pada tahun dari 2021, yakni Kabupaten Sintang, Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Mempawah, Kabupaten Ketapang, dan Kabupaten Melawi.
Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Kalimantan Barat yang masih memiliki prevalensi stunting tinggi di atas 30 persen pada tahun 2022 menunjukkan bahwa efektivitas upaya percepatan penurunan stunting belum mencapai tingkat yang diharapkan.
Pemahaman masyarakat di wilayah Provinsi Kalimantan Barat tentang pentingnya kesehatan berkaitan erat dengan intervensi sensitif yang meliputi faktor-faktor tidak langsung penyebab stunting.
Dalam rangka penurunan prevalensi dan pencegahan timbulnya kasus stunting di masa yang akan datang, kebijakan-kebijakan yang dapat direkomendasikan untuk pengelolaan stunting di wilayah Provinsi Kalimantan Barat.
Partisipasi Posyandu/kampanye anti-stunting sebagai persyaratan layanan publik. Perlu revitalisasi Posyandu di seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Barat.
Revitalisasi bertujuan untuk memperbaiki fisik bangunan dan menyediakan alat-alat kesehatan, seperti alat antropometri dan persediaan suplemen tambahan bagi masyarakat. Disetiap kota dan area pemerintahan berkala kampanye anti-stunting.
Pemerintah Provinsi Kalimanan Barat dapat menyusun mekanisme pemberian bantuan seperti sembako yang disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak.
Pelaksanaan bantuan ini ini bisa berdasar kebutuhan atau yang diminta posyandu/BKKBN/Puskesmas berkenaan. Penyaluran sembilan bahan pokok yang diawasi penyalurannya (oleh APIP terkait).
Dalam Upaya penanaman anti stunting sejak dini, penyertaan materi hidup sehat di kurikulum sekolah sekolah lokal.
Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dapat memasukkan materi edukasi terkait pentingnya hidup sehat dan konsumsi makanan bergizi pada kurikulum lokal, dari tingkat Sekolah Dasar sampai tingkat Sekolah Menengah Pertama.
Materi edukasi pencegahan pernikahan dini dan pemberdayaan gender dimasukkan pada kurikulum lokal tingkat Sekolah Menengah Atas. Pendidikan diluar jalur formal, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat berkolaborasi dengan tokoh-tokoh masyarakat di wilayah Provinsi Kalimantan Barat.
Strategi komunikasi melalui pendekatan budaya ini diharapkan mampu secara efektif mengubah perilaku masyarakat dalam rangka meningkatkan kesadaran hidup sehat, mencegah malnutrisi, mencegah pernikahan dini, serta menurunkan prevalensi stunting. (*)