Opini post authorBob 05 September 2024

Pilkada 2024: Menjaga Kepercayaan, Menjaga Demokrasi

Photo of Pilkada 2024: Menjaga Kepercayaan, Menjaga Demokrasi Syamsul Kurniawan, Ketua Lembaga Hubungan Umat Beragama dan Peradaban PW Muhammadiyah Kalbar, Ketua Divisi Kaderisasi dan Cendekiawan Muda ICMI Kota Pontianak

DEMOKRASI adalah sebuah proses yang terus berkembang, sebuah proses di mana setiap individu memiliki hak untuk bersuara, dan di mana pemimpin terpilih mencerminkan kehendak rakyat.

Menjelang Pilkada 2024, kita diingatkan bahwa Pilkada bukan sekadar ajang perebutan kekuasaan, tetapi juga merupakan sebuah "pembelajaran politik" yang berharga bagi masyarakat.

Dalam setiap kontestasi politik, masyarakat tidak hanya memilih pemimpin, tetapi juga belajar dari profil, sikap, dan nilai-nilai yang ditunjukkan oleh para calon kepala daerah.

Namun dari yang sudah-sudah, sering kali kita menyaksikan bagaimana ambisi pribadi dapat mengaburkan tujuan mulia dari demokrasi.

Pilkada yang seharusnya menjadi ajang pendidikan politik berubah menjadi arena pertarungan yang penuh intrik dan manipulasi.

Dalam konteks ini, kita harus bertanya: apakah para calon kepala daerah yang akan berkontestasi di Pilkada 2024 siap untuk menjadikan proses ini sebagai pembelajaran politik yang bermakna bagi masyarakat, atau akankah mereka membiarkan ambisi mereka merusak proses ini?

Pilkada sebagai Cermin Demokrasi

Pilkada adalah cermin dari kualitas demokrasi kita. Jurgen Habermas, dalam The Structural Transformation of the Public Sphere (1992), menggarisbawahi pentingnya ruang publik sebagai tempat berkembangnya diskursus rasional dan sehat.

Di sinilah masyarakat belajar tentang nilai-nilai demokrasi, tentang bagaimana perdebatan seharusnya dilakukan, dan tentang bagaimana kepemimpinan yang baik seharusnya terbentuk.

Namun, ketika ruang publik ini diisi dengan narasi yang membelah masyarakat, memanfaatkan agama dan identitas demi kepentingan politik, maka Pilkada kehilangan makna edukatifnya.

Dalam The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion (2013), Jonathan Haidt menggambarkan bagaimana manusia secara alami cenderung berpihak pada kelompoknya dalam isu-isu yang sensitif, seperti agama dan politik.

Politisi yang licik memanfaatkan kecenderungan ini untuk memperkuat basis dukungan mereka, tetapi pada saat yang sama, mereka merusak fondasi demokrasi itu sendiri.

Ketika agama dan identitas digunakan sebagai alat politik, yang terjadi bukanlah pembelajaran politik yang sehat, melainkan polarisasi yang merusak tatanan sosial.

Seorang pemimpin yang sejati memahami bahwa Pilkada adalah lebih dari sekadar meraih kemenangan.

Ini adalah kesempatan untuk mendidik masyarakat tentang pentingnya integritas, kejujuran, dan tanggung jawab.

Kemenangan yang diraih melalui taktik manipulatif adalah kemenangan yang tidak hanya mengkhianati kepercayaan publik, tetapi juga mengikis kesempatan masyarakat untuk belajar dari proses politik.

Kekalahan, di sisi lain, juga merupakan bagian penting dari pembelajaran politik. Jacques Lacan, dalam Écrits: A Selection (1980), menjelaskan bagaimana bahasa sering kali tidak mampu sepenuhnya mengekspresikan kompleksitas keinginan manusia.

Dalam konteks politik, ini berarti bahwa setiap narasi yang dibangun selama kampanye harus terus dievaluasi dan disesuaikan dengan realitas.

Kekalahan memberikan peluang bagi para calon kepala daerah untuk mengevaluasi diri, untuk belajar dari kesalahan, dan untuk kembali dengan strategi yang lebih baik di masa depan.

Masyarakat Indonesia dalam hal ini tentu belajar dari apa yang mereka lihat dalam diri para calon kepala daerah.

Setiap tindakan, setiap kata yang diucapkan, dan setiap keputusan yang diambil oleh calon kepala daerah memberikan pelajaran kepada masyarakat tentang apa yang seharusnya diharapkan dari seorang pemimpin.

Ketika seorang calon menggunakan agama atau identitas untuk membelah masyarakat, mereka tidak hanya gagal sebagai pemimpin, tetapi juga gagal memberikan contoh yang baik bagi masyarakat yang seharusnya mereka pimpin.

Pilkada 2024 adalah kesempatan bagi para calon kepala daerah untuk menunjukkan bahwa mereka benar-benar peduli terhadap pendidikan politik masyarakat.

Mereka harus menunjukkan bahwa mereka siap menang dengan tanggung jawab dan siap kalah dengan martabat.

Ini bukan hanya soal menghormati hasil pemilihan, tetapi juga soal menunjukkan bahwa demokrasi adalah tentang proses belajar bersama-belajar untuk menjadi lebih baik, lebih adil, dan lebih bijaksana.

Siap Menang, Siap Kalah

Dalam demokrasi yang sehat, Pilkada adalah lebih dari sekadar ajang perebutan kekuasaan.

Ini adalah proses pembelajaran yang berkelanjutan, di mana masyarakat belajar tentang nilai-nilai demokrasi dan tentang apa yang seharusnya mereka harapkan dari seorang pemimpin.

Para calon kepala daerah di Pilkada 2024 memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa proses ini tidak dirusak oleh ambisi pribadi yang sempit.

Menang atau kalah, setiap calon harus memahami bahwa mereka sedang mengajar masyarakat tentang esensi dari demokrasi itu sendiri.

Mereka harus menunjukkan bahwa mereka bisa berkompetisi dengan integritas, bahwa mereka bisa menerima kekalahan dengan penuh harga diri, dan bahwa mereka bisa meraih kemenangan dengan cara yang adil dan bermartabat.

Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa Pilkada 2024 akan menjadi kemenangan sejati bagi demokrasi Indonesia-sebuah kemenangan yang tidak hanya mengangkat pemimpin yang tepat, tetapi juga menciptakan masyarakat yang lebih cerdas dan lebih berdaya dalam memahami dan menjalani demokrasi. (*)

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda