SAYA duduk di sudut sebuah kafe yang teduh, dikelilingi pepohonan tropis yang menjalar, menciptakan bayang-bayang sejuk di lantai kayu yang lusuh namun hangat. Aroma tanah yang basah oleh embun pagi masih terasa.
Di atas meja, es lemon tea mendinginkan pikiran yang mulai gerah oleh hiruk-pikuk hari ini. Saya belum sarapan, dan kini tengah memesan nasi goreng yang akan menjadi makan siang sekaligus.
Aktivitas pagi tadi menyita seluruh waktu saya, membuat langkah terasa berat dan pikiran semakin buntu.
Ada sesuatu yang menggantung di benak saya, sebuah pertanyaan yang seakan tak menemukan jawabannya: apakah ambisi kekuasaan adalah kutukan yang kita warisi, ataukah itu hanyalah bayangan dari ketakutan terdalam kita?
Saya teringat kisah Icarus, si pemuda yang dengan sayap lilin berusaha mencapai langit. Ia ingin terbang, melampaui batas yang ditetapkan alam.
Namun, dalam keangkuhan ambisinya, ia melanggar nasihat sang ayah dan terbang terlalu dekat ke matahari.
Lilin sayapnya meleleh, dan ia pun terhempas ke laut. Icarus adalah personifikasi ambisi yang tak terkendali, keinginan untuk menggapai yang tak terjangkau.
Bukankah kekuasaan selalu seperti itu? Seseorang ingin lebih, meski tahu bahwa ketinggian yang mereka daki bisa menghancurkan mereka.
Dalam cerita Icarus, saya melihat pantulan dari diri-diri yang terus dikuasai ambisi. Manusia, seperti halnya Icarus, kerap terjebak dalam permainan kekuasaan yang tak pernah mengenal akhir. Kekuasaan bukan lagi alat untuk mencapai kebaikan, melainkan tujuan itu sendiri.
Kita terbang terlalu tinggi, terjebak dalam hasrat untuk menguasai, dan akhirnya terhempas. Ini bukan hanya soal politik, tetapi soal kehidupan sehari-hari, soal keinginan untuk mengontrol orang lain, situasi, dan bahkan takdir kita sendiri.
Es lemon tea saya tiba, dingin di tangan, namun tak cukup untuk mendinginkan pikiran yang terus berputar. Saya teringat Freud, dengan teorinya tentang id, ego, dan super-ego.
Di dalam setiap diri kita, ada dorongan yang tak pernah puas-id, dorongan dasar yang selalu menginginkan lebih. Kekuasaan sering kali adalah manifestasi dari id ini.
Dorongan untuk berkuasa adalah dorongan purba, insting yang berakar pada hasrat untuk bertahan hidup, untuk mendominasi, dan untuk tidak tunduk pada siapa pun.
Namun, ambisi itu, meski kerap dianggap berbahaya, tak selalu salah. Selama dalam batas kewajaran, ambisi kekuasaan sah-sah saja. Ia bisa menjadi penggerak perubahan, motivasi untuk mencapai hal yang lebih baik.
Yang menjadi masalah adalah ketika ambisi kekuasaan melewati batas, ketika ia menguasai seseorang sepenuhnya.
Ketika seseorang berhasil mendapatkan kekuasaan yang ia idamkan, sering kali ia lupa dari mana kekuasaan itu berasal, lupa siapa yang ia janjikan kebaikan. Kekuasaan berubah menjadi sesuatu yang dimiliki, bukan dijalankan.
Seseorang yang terjebak dalam ambisi kekuasaan tanpa kendali akhirnya menjadi pemangsa; ia tidak peduli bagaimana cara mendapatkan kuasa, apakah dengan kebohongan, manipulasi, atau bahkan kekerasan. Kekuasaan, bagi orang-orang seperti itu, menjadi alat untuk memuaskan id mereka, bukan untuk melayani orang lain.
Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika ambisi itu gagal. Ketika seseorang tidak mendapatkan kekuasaan yang ia inginkan, ia tidak berhenti pada kegagalan.
Justru, ia bisa menjadi lebih berbahaya. Gagal meraih kekuasaan, ia menebar kebencian. Ia merancang kebohongan untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya, membuat orang lain percaya bahwa kegagalan mereka adalah akibat dari ketidakadilan, bukan ketidakmampuan mereka sendiri.
Inilah yang sering kita lihat dalam dunia politik: ketika ambisi gagal, mereka tidak menyerah. Mereka memilih untuk merusak, menebar kebohongan, memanipulasi bahasa demi menyelamatkan ego mereka yang hancur.
Saya menyantap nasi goreng saya perlahan, mencoba memahami dinamika kekuasaan yang menggerogoti pikiran saya. Dalam dunia yang semakin kompleks, kita semua hidup dalam krisis kepercayaan.
Tidak hanya kepercayaan kepada orang lain, tetapi kepercayaan pada diri sendiri. Apakah ambisi untuk berkuasa sebenarnya adalah cerminan dari ketidakmampuan kita untuk percaya bahwa kita cukup, bahwa kita tidak perlu melampaui batas-batas yang ditentukan?
Super-ego, bagian dari kepribadian yang memuat moralitas, seharusnya menjadi kompas yang mengarahkan kita. Ia menegur kita ketika kita terlalu jauh terperosok dalam ambisi yang tidak realistis.
Tapi, di dunia modern ini, super-ego tampaknya semakin terpinggirkan. Nilai-nilai moral dan etika sering kali tergilas oleh hasrat untuk lebih, lebih, dan lebih.
Tidak ada lagi ruang untuk refleksi, hanya keinginan untuk mendaki puncak yang lebih tinggi, tanpa mempertimbangkan apakah kita siap jatuh.
Saat ini, saya melihat dunia terjebak dalam sindrom Icarus. Dari para pemimpin negara hingga pengusaha, dari tokoh agama hingga seniman, banyak yang terbang terlalu dekat ke matahari kekuasaan.
Mereka lupa bahwa sayap yang mereka pakai bukanlah buatan Tuhan, melainkan hasil buatan tangan sendiri, yang rapuh dan bisa hancur kapan saja.
Kita sering melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang sakral, sesuatu yang layak dikejar tanpa memedulikan biaya yang harus dibayar. Namun, apakah kekuasaan itu sendiri tidak lebih dari sekadar ilusi?
Kekuasaan, pada hakikatnya, adalah sesuatu yang fana. Ketika kita merasa telah mencapainya, sering kali kita disadarkan bahwa ia tidak pernah benar-benar ada.
Seperti air di genggaman, semakin erat kita mencoba memegangnya, semakin cepat ia menghilang.
Kekuasaan, lebih dari apapun, adalah cermin dari ketakutan kita akan ketidakberdayaan, akan kelemahan yang terus membayangi kehidupan kita.
Namun, meski berisiko, ambisi itu tak sepenuhnya salah. Ambisi bisa menjadi pemantik untuk bergerak, asalkan kita tahu kapan harus berhenti.
Saya duduk sejenak, menyeruput lemon tea yang mulai mencair, menyadari bahwa mungkin ambisi kekuasaan adalah bentuk penyangkalan diri. Kita menolak untuk mengakui bahwa pada akhirnya, kita tidak memiliki kendali atas hidup ini.
Kita ingin percaya bahwa kita bisa mengendalikan nasib, mengendalikan orang lain, bahkan mengendalikan waktu.
Tetapi, pada titik tertentu, kita harus menerima bahwa kekuasaan adalah ilusi. Satu-satunya kekuasaan yang sejati adalah kekuasaan atas diri sendiri—mengendalikan id kita, menyeimbangkan ego, dan mendengarkan super-ego kita.
Ketika nasi goreng di piring hampir habis, saya teringat pada sebuah kutipan dari George Orwell: “Bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan menjadi dihormati.”
Apa yang dikatakan Orwell seakan mencerminkan realitas yang ada sekarang. Ambisi kekuasaan yang tak terkendali melahirkan permainan bahasa yang cerdik namun berbahaya.
Kata-kata dipelintir, kebohongan dibungkus rapi hingga tampak seperti kebenaran. Ketika kekuasaan diraih, sering kali itu dilakukan dengan mengorbankan kejujuran, etika, dan hati nurani.
Politik, yang seharusnya menjadi arena untuk menciptakan kebaikan bersama, justru tersandera oleh mereka yang gagal mengendalikan ambisinya.
Bahasa politik menjadi senjata yang licik, digunakan untuk merasionalisasi tindakan-tindakan keji, untuk mengubah kebohongan menjadi sesuatu yang terdengar mulia. Inilah bahaya dari kekuasaan yang tidak dijaga oleh moralitas.
Ia menciptakan dunia di mana yang salah menjadi benar, di mana kebencian dijustifikasi demi mencapai tujuan.
Ambisi kekuasaan adalah paradoks. Ia memberikan ilusi kekuatan, namun pada saat yang sama, ia menggerogoti jiwa, membawa kita semakin jauh dari diri kita sendiri.
Kita menjadi tawanan dari ambisi kita sendiri, terjebak dalam lingkaran yang tak pernah berakhir. Pada akhirnya, mungkin yang kita butuhkan bukanlah lebih banyak kekuasaan, melainkan lebih banyak pemahaman tentang diri sendiri.
Kafe ini, dengan pepohonan yang menaungi dan angin lembut yang berhembus, seolah mengingatkan bahwa hidup ini sederhana. Kita tidak perlu terbang terlalu tinggi untuk menemukan makna.
Kita hanya perlu berhenti sejenak, menundukkan kepala, dan menerima bahwa kita hanyalah bagian kecil dari alam semesta yang lebih besar. Kekuasaan, dalam segala bentuknya, hanyalah sebuah fatamorgana di gurun yang luas.
Ambisi kekuasaan, jika tidak dijaga oleh nilai-nilai moral, hanya akan membawa kita ke kehancuran. (*)