Opini post authorBob 09 Juli 2024

Guru Agama dan Kerja Merawat Bhineka Tungga Ika

Photo of Guru Agama dan Kerja Merawat Bhineka Tungga Ika Syamsul Kurniawan (Kaprodi Pendidikan Agama Islam, IAIN Pontianak)

IDENTITAS budaya diatur dalam Pasal 28I ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), tapi menyangkut identitas budaya masyarakat tradisional.

Ketentuan ini menentukan, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selayaknya dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

Ini menegaskan adanya multikulturalisme yakni menghormati identitas budaya dari setiap masyarakat tradisional yang ada di Indonesia.

Intinya, UUD 1945 amat menekankan pentingnya multikulturalisme, yang menunjukkan posisi negara dalam mengakui kemajemukan komunitas budaya.

Selain itu, pasal-pasal UUD 1945 yang mengindikasikan politik multikulturalisme adalah Pasal 18B ayat (1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 32 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (2).

Pasal-pasal lain yang juga menjadi dasar pengakuan dan penghormatan kemajemukan hukum, yakni Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 memberi arah pengakuan hukum adat dan Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) memberi arah pengakuan hukum agama.

Ini menunjukkan pembentuk Undang-Undang Dasar telah meletakkan bhinneka tunggal ika sebagai penanda komitmen negara terhadap multikulturalisme dalam rangka upaya bina negara, yakni untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Istilah Bhinneka Tunggal Ika diambil dari Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular yang dikarang pada abad ke-14.

Semboyan bhinneka tunggal ika berasal dari bahasa Jawa Kuno dengan menggunakan aksara Bali. Kutipan kalimat bhinneka tunggal ika terdapat dalam petikan pupuh 139 bait 5 pada Kitab Sutasoma.

“Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa." (berbeda itu tapi satu jualah itu, tak ada dharma (jalan kebaktian/kebaikan) yang mendua tujuan).

Kesadaran seputar ini mestinya juga dibangun pada seluruh warga negara, dan ini tentunya amat membutuhkan peran fungsional dari lembaga pendidikan.

Bhineka tunggal ika, adalah semboyan yang selayaknya mendasari kerja-kerja pendidikan di lembaga pendidikan.

Peran Guru Agama yang Penting
Guru-guru agama termasuk dalam hal ini, punya peran fungsional sebagai aktor yang merawat semboyan bhineka tunggal ika.

Sehingga, agama yang diajarkan pada siswa-siswanya adalah ajaran agama yang merawat kerukunan di tengah keberbedaan sebagaimana semboyan bhineka tunggal ika.

Hal ini relevan. Sulit menampik, bahwa agama mengajarkan manusia untuk menerima segala perbedaan sebagai rahmat atau anugerah Tuhan, mengajarkan kebaikan dan kedamaian hidup manusia.

Buddha mengajarkan kesederhanaan, Kristen mengajarkan cinta kasih, Konfusianisme mengajarkan kebijaksanaan, sementara Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam. 

Mengingat manusia diciptakan dari komposisi tanah yang berbeda, dilahirkan di lingkungan sosial dan tadisi yang berbeda, maka perbedaan adalah sesuatu yang wajar, dan tidak perlu dipersoalkan.

Apalagi dalam sebuah negara yang dihuni oleh berbagai macam etnis dan agama, dan kelompok-kelompok etnis dan keagamaan, sebagaimana di Indonesia.

Kalau hanya mementingkan ego, dan memikirkan siapa yang paling benar dan siapa yang paling pantas hidup dimuka bumi, maka manusia tidak akan pernah berhenti berperang dengan sesamanya.

Perbedaan dan keberagaman di Indonesia harusnya menjadi sumber kekuatan untuk kemajuan peradaban manusia. Sebab itulah, semboyan bhineka tunggal ika saya sebut sangat relevan dalam konteks keagamaan.

Berdasarkan ini, guru agama mempunyai tanggung jawab menjadikan siswa-siswanya berpengetahuan/ berwawasan dan bermoral/berperilaku positif sejalan dengan nilai-nilai dan norma-norma keagamaan yang dianut serta berpegangan pada semboyan bhineka tunggal ika ini.

Dalam konteks membekali siswa dengan pengetahuan dan pengalaman terhadap kebutuhan inilah, seorang guru agama selayaknya bisa bersikap tulus untuk mengayomi dan memperlakukan siswa-siswinya dengan baik dengan penuh kesabaran dalam membangun kesadaran akan hal ini.

Sebab banyak dari guru agama yang hanya memindahkan pengetahuannya kepada siswa-siswanya, sementara tidak begitu memperhatikan pentingnya menanamkan nilai-nilai dan membangun karakter. Alangkah baik, ketika ini menyatu dalam karakter mereka, sehingga dalam berpikir dan menerjemahkan ajaran agama mereka, semboyan bhineka tunggal ika turut menjadi pertimbangan.

Betul bahwa salah satu tugas dari guru agama adalah mengajar, tetapi dalam proses pembelajaran agama tidak selayaknya hanya fokus pada kecerdasan kognitif siswa, melainkan juga penting memperhatikan sisi afektif dari siswa sehingga diharapkan siswa-siswa yang belajar bisa memiliki kepekaan budi dan hati nurani. 

Atau dengan kata lain, kecuali memiliki kecerdasan kognitif juga memiliki kecerdasan sosial. Tekanannya tidak hanya pada upaya mencerdaskan siswa secara kognitif (yang berarti siswa tahu dan paham akan agama yang ia pelajari) tetapi juga memiliki kecerdasan sosial (mampu mengamalkannya dalam ranah sosial-kemasyarakatan) yang kesemuanya mesti didasarkan pula pada komitmen terhadap bhineka tunggal ika.
Kecuali itu, guru agama juga selayaknya bisa menjadi model yang diteladani oleh siswa-siswinya.

Selayaknya dalam suatu adagium Jawa yang selalu kita dengar tentang guru yaitu guru itu ibaratnya "digugu lan ditiru". Kata-kata itu mestinya selalu disandang oleh seorang guru. Dimanapun keberadaan seorang guru selalu menjadi contoh yang baik, terutama bagi siswa-siswinya.

Seorang guru agama sebaiknya selalu berpikir tentang perilakunya, karena segala hal yang dilakukannya menjadi sorotan bagi orang-orang yang ada di sekelilingnya, tak terkecuali siswa-siswinya. Termasuk, dalam konteks membangun komitmen terhadap bhineka tunggal ika ini.***

Keywords

Berita Terkait

Baca Juga

Komentar Anda