“Demokrasi adalah proses dimana orang-orang memilih seseorang yang kelak akan mereka salahkan” ( Bertrand Rusell ).
“Setelah babak pemilihan capres dan cawapres panggung politik nasional diwarnai oleh sejumlah aksi akrobatik dan teatrikal elite politik yang penuh dengan kejutan dan bahan tertawaan “.
Panggung politik memang tidak bisa di justifikasi dengan kata benar dan salah, setiap orang memang memiliki persepsi dan aksi yang berbeda-beda dengan nilai kesetaraan hak yang sama di panggung demokrasi, kejutan itu tampak diwajah paradoksal demokrasi kita, di satu sisi (terutama dikalangan elite) aksi-aksi melihatkan superioritas mereka sebagai aktor the art of possibility artinya politik itu adalah seni yang memungkinkan bahwa segala hal bisa direalisasikan, kita melihat bahwa seni itu dapat melawan berbagai bentuk hambatan dan kendala, yang terkadang kita anggap bahwa hal tersebut tidak bisa dilakukan perubahan tetapi melalui proses politik itu dapat di dilakukan, namun dikalangan akar rumput aksi itu meneguhkan realitas sebaliknya : the art of immposibility.
Artinya politik menjadi panggung bebas bagi kaum elite untuk melakukan aksi-aksi akrobatik mereka. Meski demikian aksi-aksi tersebut sejatinya menjadi “barang mewah” yang tak tersentuh oleh warga kebanyakan ibarat strata sosial menduduki kasta Ksatria dalam ajaran hindu untuk kaum sudra hanya perlu menikmati dan tepuk tangan saja.
Akibatnya politik hanya menjadi urusan kaum elite dikasta yang strata sosial manusia yang tak semua boleh campur tangan diwarga kebanyakan, interaksi dan komunikasi hanya terjadi ketika mereka diperlakukan sebagai ceruk elektoral disetiap hajatan demokrasi (Pemilu) selebihnya, warga dipersilahkan kembali bergulat dengan berbagai problematika kehidupan masing-masing tanpa harus berharap lebih pada kaum elite ksatria.
Sejatinya kita perlu merefleksikan dan mengevaluasi aksi-aksi pemeran panggung utama politik sejauh mana demokrasi yang kita praktikan membawa keberkahan dan kemuliaan bagi daerah dan bangsa, sesuai dengan amanat UU 1945 dan pedoman nilai pancasila yang teguh kita yakini saat ini
umumnya warga baik-baik saja bahkan akan menikmati sajian akrobatik dan teatrikal kaum elite sepanjang yang dilakukan dalam konteks pemenuhan “hajat hidup orang banyak” namun dalam kenyataannya benar-benar menjadi tontonan kaum akar rumput yang tidak ada korelasinya pada perbaikan bangsa ini secara umum.
Kemenangan pentas politik hanya sebagai insentif atau bonus bagi siapa pun yang hendak menduduki posisi kelembagaan di kursi elite, meski demikian kemenangan bukanlah terminal akhir dari seluruh kiprah dan sepak terjang mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Meski banyak urusan pancakontestasi elektoral terutama konteks menerjemahkan visi besar demokrasi (yaitu mewujudkan kepentingan publik) ke dalam praktis kehidupan sehari -hari , refleksi dari perjalanan dekade akhir ini kualitas demoktasi kita justru mengalami stagnasi bahkan regresi.
Mencermati betapa jauhnya kesenjangan antara demokrasi elektoral dan dimensi teleologis demokrasi itu sendiri, kita tak punya pilihan lain selain menguatkan politik nilai (Politics Of Value) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan politik nilai kita hendak mengembalikan realitas politik keseharian ke khitah yang hakiki with Common Sense (dengan akal sehat dan budi pekerti).
Tanpa panduan politik nilai, tak bisa dibayangkan betapa semakin pragmatis dan banalnya kualitas politik kita, jika politik nilai melahirkan sosok negarawan, politik harian hanya melahirkan politikus biasa yang selalu berburu kemenangan melampaui batas, karena sejatinya kemenangan dalam pentas demokrasi dilihat sejauh mana dia berkiprah untuk kepentingan bersama dengan perasaan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Pilkada tahun 2024 ini kita ingin bukan hanya sekedar pesta dan pentas bagi warga untuk memilih jagoan ditempat dan daerahnya apalagi dengan iming-iming janji , kita ingin pastikan bahwa etika politik, etika organisasi dan etika kelembagaan juga dapat diindahkan secara kompleks. Karena sosok negarawan adalah mereka yang senantiasa mengartikulasikan politik nilai dalam kerangka pemenuhan kepentingan umum (Public Goods).
Namun setiap proses itu ada catatan perbaikan dengan tujuan check and balance sebagai garis merah sistem relasi kekuasaan yang pada saat era orde baru itu masih mewarisi politisi dengan sistem kekuasaan. Ciri-ciri tersebut tampak akhir-akhir ini dengan campur tangan Dewan Perwakilan Rakyat mengurusi hasil putusan Mahkamah Konstitusi secara tidak langsung menunjukkan bahwa warisan politik negara dan sumber daya publik masih menjadi tempat untuk perebutan kepentingan dan aliansi bisnis politik hal ini merusak organ demokrasi.
Pilkada tahun ini juga kita tidak ingin sebagai simbol bentuk ajang unjuk menunjukkan pakaian dan identitas diri, walaupun memang itu yang terserap dari jati diri seorang politikus, kita juga tidak memilih superhero yang bisa menangani segala permasalahan hidup setiap warga, kita ingin pastikan bahwa visi dan janji yang di ucapkan itu mampu membawa daerah ke arah yang lebih bermartabat dengan patuh pada undang-undang dasar dan garis lurus demokrasi. Pro Indonesia. (*)