PEMILIHAN kepala daerah bukan sekadar ritual demokrasi yang menentukan siapa yang akan menduduki kursi kekuasaan, melainkan juga sebuah arena tempat harapan dan janji berseliweran tanpa henti.
Setiap kandidat, dengan semangat yang membara, mencoba untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka adalah sosok yang paling layak menduduki kursi itu.
Namun, di balik semua gegap gempita ini, terdapat suatu kekhawatiran mendalam yang sering kali diabaikan—kekhawatiran tentang bagaimana janji-janji yang diumbar dalam kontestasi politik ini bisa menjadi jebakan simulacra yang mempengaruhi nasib pendidikan kita.
Dalam dunia yang semakin terhubung dengan media sosial, janji politik telah mengalami transformasi yang signifikan. Janji-janji tersebut kini tidak lagi sekadar disampaikan melalui pidato-pidato di depan umum, melainkan diulang-ulang dan diperkuat melalui berbagai platform digital.
Seolah-olah, janji-janji tersebut membentuk realitas baru yang mengaburkan batas antara yang nyata dan yang tidak nyata. Inilah yang oleh Jean Baudrillard disebut sebagai "Simulacra"—suatu representasi yang telah kehilangan kaitannya dengan kenyataan yang sebenarnya.
Dalam bukunya Simulacra and Simulation (1981), Baudrillard menjelaskan bahwa dalam era postmodern, representasi-representasi ini tidak lagi berfungsi sebagai cerminan dari realitas, melainkan menciptakan dunia hiperrealitas di mana yang nyata dan yang imajiner melebur menjadi satu.
Di sinilah letak bahayanya: masyarakat mulai melihat janji-janji politik ini sebagai kenyataan yang sesungguhnya, padahal yang mereka saksikan hanyalah simulasi—sebuah realitas palsu yang disajikan melalui media.
Realitas Pendidikan dan Keagamaan dalam Bayang-Bayang Simulasi
Pendidikan, sebagai salah satu pilar utama pembangunan bangsa, sering kali menjadi topik sentral dalam kampanye politik.
Setiap kandidat berusaha menunjukkan komitmen mereka untuk memperbaiki sistem pendidikan, dengan berbagai janji yang menjanjikan perubahan besar.
Namun, kita harus bertanya, seberapa banyak dari janji-janji ini yang benar-benar akan terealisasi? Apakah kita, sebagai masyarakat, sedang dibawa ke dalam simulasi yang hanya menjanjikan bayangan dari apa yang seharusnya ada?
Dalam teorinya, Baudrillard menggambarkan simulacra sebagai keadaan di mana tanda-tanda tidak lagi merujuk pada realitas, melainkan menciptakan realitas mereka sendiri.
Dalam konteks pendidikan, janji-janji yang dilontarkan oleh para kandidat sering kali menjadi tanda-tanda tersebut.
Mereka menciptakan ekspektasi yang tinggi di kalangan masyarakat, terutama orang tua dan pelajar, tentang masa depan pendidikan yang lebih baik.
Namun, tanpa dasar yang kuat dan komitmen yang nyata, janji-janji ini hanya akan menjadi ilusi—sebuah dunia hiperrealitas di mana kenyataan yang sesungguhnya tertutup oleh lapisan-lapisan harapan yang kosong.
Masyarakat, terutama generasi muda, menjadi korban utama dari simulasi ini. Mereka dibuai oleh janji-janji manis yang dikemas dengan indah dalam kampanye politik, namun pada akhirnya, mereka hanya mendapatkan kekecewaan ketika janji-janji tersebut tidak pernah diwujudkan.
Ini bukan sekadar tentang kekecewaan, tetapi juga tentang bagaimana generasi muda membentuk pandangan mereka terhadap pendidikan dan masa depan mereka. Ketika janji-janji palsu menjadi bagian dari pengalaman mereka, kepercayaan terhadap sistem pendidikan dan politik pun akan tergerus.
Kita dapat melihat banyak contoh di mana janji-janji pendidikan dalam kampanye politik tidak pernah terealisasi.
Misalnya, dalam pemilihan kepala daerah sebelumnya, banyak kandidat yang berjanji untuk membangun sekolah-sekolah baru di daerah terpencil, meningkatkan kesejahteraan guru, atau memperkenalkan kurikulum yang lebih relevan dengan perkembangan zaman.
Namun, setelah mereka terpilih, janji-janji ini sering kali hanya tinggal janji. Sekolah-sekolah yang dijanjikan tidak pernah dibangun, guru-guru masih menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka, dan kurikulum tetap stagnan, tidak mampu mengejar kebutuhan masyarakat yang terus berubah.
Kasus-kasus seperti ini bukanlah hal yang langka. Di berbagai daerah, kita bisa menemukan cerita-cerita serupa di mana harapan yang dibangun selama masa kampanye berakhir dengan kekecewaan yang mendalam.
Pendidikan, yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam pembangunan bangsa, justru menjadi korban dari permainan simbolik yang dilakukan oleh para politisi. Mereka menggunakan pendidikan sebagai alat untuk meraih simpati masyarakat, namun tidak memiliki komitmen yang nyata untuk mewujudkan janji-janji mereka.
Selain pendidikan, nilai-nilai keagamaan juga sering kali dijadikan komoditas dalam kampanye politik.
Para kandidat menggunakan retorika agama untuk menarik dukungan dari masyarakat yang religius, dengan janji-janji untuk memperkuat pendidikan agama, meningkatkan pemahaman keagamaan, dan membangun moralitas yang lebih kuat di kalangan generasi muda.
Namun, seperti halnya dengan janji-janji pendidikan, janji-janji ini juga sering kali tidak lebih dari sekadar simulasi yang tidak pernah diwujudkan.
Dalam konteks ini, pendidikan agama menjadi salah satu korban utama. Di banyak daerah, janji-janji untuk memperkuat pendidikan agama berakhir dengan ketiadaan tindakan nyata.
Sekolah-sekolah yang dijanjikan untuk mendapatkan perhatian khusus dalam pendidikan agama tidak mendapatkan dukungan yang dijanjikan.
Guru-guru agama tetap berada dalam kondisi yang sulit, tanpa fasilitas dan dukungan yang memadai untuk menjalankan tugas mereka. Kurikulum agama yang dijanjikan akan diperbarui dan disesuaikan dengan perkembangan zaman tetap stagnan, tanpa adanya upaya nyata untuk meningkatkan kualitasnya.
Simulasi ini tidak hanya merugikan pendidikan agama secara langsung, tetapi juga mengikis nilai-nilai keagamaan yang seharusnya menjadi landasan moral bagi masyarakat. Ketika janji-janji agama hanya dijadikan alat politik, nilai-nilai tersebut kehilangan maknanya.
Mereka menjadi sekadar simbol yang digunakan untuk meraih dukungan, tanpa ada komitmen nyata untuk menjadikannya bagian dari kehidupan masyarakat.
Dalam jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan krisis kepercayaan terhadap agama itu sendiri, terutama di kalangan generasi muda yang melihat betapa mudahnya nilai-nilai agama digunakan untuk tujuan politik.
Krisis kepercayaan ini adalah salah satu dampak paling serius dari simulasi dalam politik. Ketika masyarakat, terutama generasi muda, terus-menerus disajikan dengan janji-janji yang tidak pernah terpenuhi, mereka akan mulai kehilangan kepercayaan terhadap sistem pendidikan dan agama.
Mereka mungkin mulai melihat pendidikan sebagai sesuatu yang tidak lagi memiliki nilai nyata, karena sistem yang ada tidak mampu memenuhi harapan mereka. Demikian pula, mereka mungkin mulai meragukan nilai-nilai agama, karena agama hanya terlihat sebagai alat yang digunakan untuk tujuan-tujuan politik.
Ini adalah kondisi yang sangat berbahaya. Pendidikan dan agama adalah dua pilar utama yang membentuk moralitas dan etika dalam masyarakat. Ketika kedua pilar ini mulai goyah, masyarakat akan kehilangan arah.
Generasi muda, yang seharusnya menjadi penerus bangsa, akan tumbuh tanpa landasan moral yang kuat, tanpa rasa tanggung jawab yang mendalam terhadap masa depan mereka. Mereka mungkin menjadi apatis terhadap politik, tidak lagi percaya bahwa pendidikan atau agama dapat membawa perubahan yang nyata dalam hidup mereka.
Menghadapi Simulasi: Membangun Kesadaran dan Kritis
Dalam menghadapi bahaya simulasi ini, kita sebagai masyarakat harus lebih kritis. Kita harus mampu membedakan antara janji yang nyata dan simulasi, antara retorika yang kosong dan komitmen yang tulus.
Ini bukan tugas yang mudah, terutama di era di mana informasi dapat dengan mudah dimanipulasi dan disebarkan melalui berbagai saluran digital. Namun, inilah tantangan yang harus kita hadapi jika kita ingin menjaga agar pendidikan dan agama tetap menjadi fondasi yang kokoh bagi masa depan bangsa.
Salah satu cara untuk menghadapi simulasi adalah dengan meningkatkan literasi politik dan pendidikan kritis di kalangan masyarakat, terutama generasi muda.
Mereka harus diajarkan untuk berpikir kritis, untuk tidak begitu saja menerima setiap janji yang dilontarkan oleh para politisi, tetapi untuk meneliti, mengkritisi, dan menuntut realisasi dari setiap janji tersebut.
Mereka harus diajarkan untuk melihat pendidikan dan agama sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar komoditas politik, tetapi sebagai bagian penting dari kehidupan mereka yang harus dijaga dan dipertahankan. (*)