Sekadau,SP - Aktivitas tambang emas tanpa izin di sungai Kapuas kembali marak. Kini aktivitas ilegal tersebut terpantau terjadi di kawasan Kecamatan Belitang Hilir, Kabupaten Sekadau.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Suara Pemred, aktivitas PETI tersebut tepatnya berada di sungai depan Pasar Sepauk.
Terdapat setidaknya puluhan lanting PETI yang beroperasi, dan berjejer di bibir sungai. Aktivitas ini diperkirakan sudah berlangsung dalam waktu yang cukup lama dan sama sekali tidak tersentuh oleh aparat penegak hukum.
Aktivitas ilegal ini mendapatkan keluhan dari masyarakat dan menjadi perhatian oleh aktivis lingkungan hidup.
Dikhawatirkan, aktivitas PETI ini akan merusak ekosistem organisme yang ada di sungai, dan berdampak terhadap lingkungan sekitar dan kesehatan masyarakat sekitar, serta kerugian yang besar bagi daerah.
Menurut salah seorang warga Belitang Hilir Sekadau, Faisal (38) kepada Suara Pemred, aktivitas tersebut sudah sejak beberapa bulan lalu beroperasi mengakibatkan kerusakan ekosistem.
"Ya, kami kesal karena di dekat tempat mereka bekerja terdapat tambak milik warga,"ungkapnya
Kegiatan PETI di Belitang Hilir ini, pernah ditolak warga yang tidak setuju atas keberadaannya yang justru menimbulkan masalah bagi masyarakat. Namun, hal tersebut diabaikan oleh pelaku, bahkan warga setempat sempat diancam.
"Saya agak kecewa dengan penegakan hukum masalah PETI.
Kami marah, kami sedih, kawasan kami dirusak," kata Faisal.
Warga berharap polisi untuk tidak menutup mata untuk menindak tegas para penambang ilegal yang menambang emas tanpa izin di wilayahnya.
"Kami tidak ingin sungai kami yang dulu bersih dirusak oleh lubang tambang maupun kimia pertambangan," harap.
Maraknya aktivitas PETI ini mendapatkan sorotan tajam dari pengamat hukum dan kebijakan publik, Herman Hofi Munawar.
Ia meminta agar aktivitas tambang emas ilegal di Sekadau tersebut dapat dihentikan oleh aparat penegak hukum, karena berpotensi merusak lingkungan.
"Saya harap pihak berwenang setempat tidak main-main dalam menyikapi persoalan PETI yang dampak negatifnya begitu besar. Harus ada koordinasi yang intens antara pemerintah setempat, para pemangku kepentingan dan instansi terkait serta aparat penegak hukum," ujar dia, kemarin.
PETI menjadi persoalan yang sangat serius karena dampaknya sangat dahsyat terhadap lingkungan. Namun, kata dia, banyak yang tidak sadar, betapa parahnya dampak dari pertambangan yang dilakukan secara ilegal tersebut.
Dosen senior di Universitas Panca Bhakti Pontianak ini pun mengaku heran, kenapa aktivitas PETI di Kecamatan Belitang Hilir tersebut belum juga ditindak, padahal sepengetahuannya sudah berlangsung cukup lama.
Tak hanya itu, Herman juga meminta kepada para pelaku PETI di sungai agar segera sadar dan dapat menghentikan aktivitasnya, karena penambangan emas di sungai sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat, baik jangka pendeknya maupun jangka panjangnya.
“Saya meminta kepada pihak berwenang harus serius menuntaskan persoalan ini. Jangan sampai menimbulkan persoalan baru, utamanya persoalan lingkungan yang nantinya akan dirasakan anak cucu kita kelak,” ujar dia.
Kerusakan lingkungan hidup masih menjadi persoalan yang mengkhawatirkan di Kalimantan Barat, terutama diakibatkan aktivitas PETI. Ia mengatakan, melihat kerusakannya yang sudah luar biasa mengkhawatirkan, seharusnya pihak berwenang setempat sudah memberikan perhatian serius dan khusus untuk mengatasi persoalan ini.
“Secara kasat mata dapat kita lihat hampir di setiap titik aliran sungai besar dan sungai kecil kondisi airnya sudah tidak sehat lagi. Namun sangat disayangkan pihak berwenang sepertinya tidak peduli dengan kondisi seperti ini. Bahkan terkesan abai terhadap praktik penambangan ilegal alias PETI. Pihak berwenang tidak ada upaya menentukan langkah-langkah melakukan perbaikan dan upaya pengalihan mata pencaharian masyarakat pada sektor lain,” jelas dia.
Dikatakan Herman, kalaupun PETI ini menjadi mata pencarian masyarakat, seharusnya pemerintah daerah setempat berusaha untuk mengalihkan status menjadi pertambangan rakyat dengan melibatkan BUMDES.
“Kalau ini dilakukan maka masyarakat desa terbantu dan lingkungan hidup dapat terkendali. Yang terjadi saat ini justru masyarakat desa hanya mendapatkan sebagian kecil hasil dari PETI. Yang diuntungkan malahan pihak-pihak tertentu atau oknum-oknum tertentu, dan lingkungan hidup menjadi rusak masyarakat menjadi korban,” ujarnya.
PETI memberikan dampak negatif dari pengoperasian aktivitas ilegal ini, baik yang berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi, maupun lingkungan.
Dampak sosial kegiatan PETI, kata dia, antara lain menghambat pembangunan daerah, dapat memicu terjadinya konflik sosial di masyarakat, kerusakan sosial dan moralitas, serta menimbulkan kerawanan maupun gangguan keamanan dalam masyarakat. Menimbulkan kerusakan fasilitas umum, berpotensi menimbulkan penyakit masyarakat, dan gangguan kesehatan akibat paparan bahan kimia.
"PETI juga tidak bisa memberikan kontribusi apapun terhadap pendapatan negara, apalagi pendapatan daerah. Selain itu, PETI akan memicu kelangkaan BBM, karena mesin-mesin yang digunakan di luar perhitungan Pertamina dan pasti menyebabkan kelangkaan BBM khususnya jenis solar,” ujar Herman.
Dampaknya terhadap lingkungan, Herman mengatakan, sudah dirasakan masyarakat Kalbar adalah kerusakan lingkungan hidup, merusak hutan apabila berada di dalam kawasan hutan, dapat menimbulkan bencana lingkungan, mengganggu produktivitas lahan pertanian dan perkebunan, serta dapat menimbulkan kekeruhan air sungai dan pencemaran air.
“Kondisi ini sudah cukup lama terjadi. Tapi pihak berwenang masih duduk manis dan tersenyum serta setengah hati untuk menertibkan PETI, belum lagi kita bicara keselamatan kerja para pekerja yang jauh dari standar keselamatan,” ujar dia.
Aktivitas PETI di sungai ini, juga mendapatkan sorotan tajam dari NGO intenasional yang merupakan bagian dari jaringan Friends of the Earth International (FoEI), yakni Walhi Kalbar.
Walhi Kalbar secara tegas mendesak agar pihak berwenang segera menertibkan aktivitas PETI yang sangat berpotensi merusak lingkungan tersebut.
"Praktik tambang emas dengan cara mengekstraksi sumber daya lahan, menjadi salah satu sumber masalah serius lingkungan hidup di Kalbar. Terlebih Sungai Kapuas yang dikenal sebagai sungai terpanjang di Indonesia, karena sungai Kapuas merupakan urat nadi kehidupan warga di pesisir sungai selama ini," ujar Kepala Divisi Kajian dan Kampanye Walhi Kalbar Hendrikus Adam belum lama ini.
Adam menambahkan, ekstraksi sumber daya alam melalui penambangan pada badan maupun sekitar sungai akan melahirkan daya rusak, dan pencemaran lingkungan yang pada akhirnya akan dituai oleh masyarakat sekitar terutama para pengguna sungai.
Sementara itu, ketika dikonfirmasi oleh Suara Pemred Kapolres Sekadau, AKBP I Nyoman Sudama mengarah upaya keterangan tersebut ke Kasatreskrim Polres Sekadau, IPTU Kuswiyanto.
"Silahkan ke Kasatreskrim saya," kata Kapolres Sekadau.
Namun, hingga berita ini diterbitkan belum ada jawaban dari Kasatreskrim Polres Sekadau. (bob)